SUGENG RAWUH

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Melalui jejaring sosial website ini, kami bertekad dapat menyuguhkan layanan informasi secara umum maupun khusus yang meliputi aktifitas KBM, kegiatan siswa, prestasi sekolah/siswa, PSB dsb. Yang dapat diakses oleh siswa, guru, orang tua/wali siswa dan masyarakat secara cepat, tepat dan efisien.
Akhir kata, semoga layanan web site ini bermanfaat.

Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Tips Mencegah Anak Dari Video Porno (Tips Untuk Orang Tua)

Dikirim 0leh Arjo moemedo Friday, December 31, 2010 0 komentaran

Peredaran video porno sangat berbahaya buat kesehatan akhlak masyarakat. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sudah 33 anak diperkosa gara-gara video Ariel.Video porno tersebut telah menimbulkan kejahatan perkosaan terhadap anak-anak usia 12-14 th  oleh para pelaku yang berusia sekitar 16-18 th. fenomena tersebut merupakan salah satu penyakit Remaja dan Pornografi Internet.

Bagi orang tua, hal yang dikhawatirkan bagi anak-anaknya saat mengakses internet adalah untuk mengakses hal-hal yang tidak benar, seperti video atau gambar-gambar jorok. Apalagi belakangan ini sedang ramai dibicarakan tentang video  mirip artis terkenal tersebut. Orang tua sebainya aktif membentengi anaknya dari hal-hal yang tidak baik sejak dini.
  • Mengenalkan pendidikan seks kepada anak. Sekarang ini sudah banyak buku tentang seks buat anak-anak yang penuh gambar, seperti komik dan buku-buku yang lain. Dengan cara ini orang tua dapat membentengi anak dari pengaruh pornografi, terutama ketika lima anaknya mulai beranjak remaja.
  • Orang tua sudah selayaknya memberikan pengertian bahwa mengakses video  atau gambar  tidak pantas merupakan hal yang dilarang oleh agama, apalagi melakukan sendiri perbuatan tersebut.
  • Memberikan pengarahan bahwa melakukan perbuatan asulisa atau berhubungan suami istri diluar nikah dapat mengakibatkan penyebaran penyakin yang berbahaya seperti HIV atau aids, bahkan merusak harga diri.
  • Memberikan pengertian kepada anak untuk tidak mencontoh hal buruk seperti yang pernah dilihat meskipun itu dilakukan oleh artis idolanya. Mencontohlah hal yang baik, bukan mencontoh hal yang buruk.
  • Sebaiknya orang tua juga membentengi anak dengan ilmu agama yang kuat sejak dini.
Menurut psikolog sekaligus direktur Lembaga Psikologi Daya Insani ini, orangtua dan lingkungan harus turut mengawasi supaya anak-anak tidak mengakses konten pornografi. Salah satu cara yang harus dilakukan ialah, membangun komunikasi dengan buah hatinya. Dengan membuka dialog komunikasi dengan anak. Kalau anak sudah sempat melihat video mesum, maka orangtua dan anak harus berdialog mencari kesimpulannya. Yaitu dengan membahas apa sisi jeleknya, dan efeknya. Kalau anak belum sempat menyaksikan konten pornografi, orangtua harus memberikan edukasi tentang pornografi itu tidak bagus.
Demikianlah tips yang dapat kami berikan, mudah-mudahan dapat mencegah anak dari bahaya video porno yang saat ini sedang marak. Semoga bermanfaat.

POSITIEF TINKING MAIN

Dikirim 0leh Arjo moemedo 0 komentaran

In keeping with the concept of resilience as the capacity to bounce back from stressful experiences, three studies using college students (Tugade and Fredrickson, 2004) provide empirical evidence for this theory.

They demonstrate the use of positive emotions to rebound from stress and to find positive meaning in stressful encounters. In the adult literature it has been demonstrated that positive emotions help to buffer against stress and that the use of positive reappraisal, problem-focused coping and the infusion of events with positive meaning are related to the occurrence and maintenance of positive affect (Folkman and Moskowitz, 2000); this predicts increases in psychological health and well-being (Affleck and Tennen, 1996). The broaden-and-build theory of positive emotions articulated by Fredrickson (1998, 2001) demonstrates how positive and negative emotions provide distinct and complementary adaptive functions.
The cognitive and physiological effects can be felt in that positive emotions broaden one’s coping repertoire while negative emotions tend to focus on the `attack when angry and escape when afraid’. Linked with this view of emotions is the concept of emotional intelligence, described by Salovey and Mayer (1989 ±90) as the capacity to identify and regulate one’s emotions and use them to guide one’s thinking and actions. Positive emotions beget positive emotions and help to achieve an upward spiral of resources that will enhance emotional well-being.
Additionally, in the educational context, for example, a positive mood enhances elaborate processing, even of negative information. There has been convincing evidence that enjoyment of a learning task has had a positive influence on performance. Pekrun, Goetz, Titzand Perry (2002) tested the assumption that intrinsic activating positive emotions enhance motivation, facilitate elaborate information-processing, benefit from creative and flexible ways of thinking, direct attention towards task performance, and help self-regulation, implying that they should contribute to academic achievement.
They found that positive emotions do in fact relate in significant ways to learning achievement. Enjoyment, hope and pride related positively to students’ meta cognitive strategies for learning, and to flexible cognitive strategies of elaboration, organization and critical thinking.

emPATI ANAK

Dikirim 0leh Arjo moemedo 0 komentaran

Sikap berempati adalah sikap yang ditunjukkan untuk memahami apa yang dirasakan atau, lebih tepat, untuk memahami apa yang Anda akan merasa seperti jika Anda berada dalam situasi itu. Ini adalah perluasan dari konsep diri, tapi jauh lebih kompleks. Hal ini membutuhkan suatu kesadaran bahwa orang lain menganggap diri mereka dengan cara yang baik mirip dengan dan berbeda dari cara yang Anda lakukan, dan bahwa mereka juga memiliki emosi mereka persekutukan dengan pikiran-pikiran dan gambar.

Tidak seperti kecerdasan dan daya tarik fisik, yang sangat tergantung pada genetika, empati adalah keterampilan yang anak-anak belajar. Nilainya adalah multifold. Anak-anak yang empatik cenderung untuk berbuat lebih baik di sekolah, dalam situasi sosial, dan dalam karier mereka dewasa. Anak-anak dan remaja yang memiliki jumlah terbesar keterampilan pada empati dipandang sebagai pemimpin oleh rekan-rekan mereka. Para guru terbaik keterampilan yang orang tua anak-anak.
The precursor empati dapat dilihat pada anak-anak pada hari pertama atau kedua dari kehidupan. Seorang anak yang baru lahir menangis di kamar bayi rumah sakit akan memicu sering menangis pada bayi lainnya di ruangan itu. menangis seperti itu tidak benar layar empati. Bayi baru lahir tampaknya hanya menanggapi suara yang membuatnya tidak nyaman, seperti yang ia akan ke suara keras.
Balita terkadang menunjukkan perilaku yang paling dekat dengan empati yang benar dalam usaha pertama mereka untuk terhubung ketidaknyamanan orang lain dengan mereka sendiri. Ketika melihat 2 tahun menangis ibunya, ia dapat menawarkan dirinya mainan dia telah bermain dengan atau cookie dia sudah menggigit. Dia memberikan sesuatu ibunya bahwa dia tahu telah membuatnya merasa lebih baik ketika dia menangis. Tidak jelas, bagaimanapun, apakah anak memahami apa yang dirasakan ibunya, atau hanya kecewa dengan cara dia bertindak, banyak cara anak anjing akan muncul dan menjilat wajah seseorang yang menangis.
Pada saat seorang anak sekitar 4 tahun, ia mulai emosi rekannya dengan perasaan orang lain. Sementara satu anak mengatakan ia memiliki sakit perut, sekitar 4-year-olds mungkin datang dan menghiburnya. Lainnya, banyak yang bingung dan ngeri orang tua dan guru, akan berjalan di atas anak dan memukulnya di perut.
Namun dalam setiap kasus anak yang sehat adalah menunjukkan empati-Nya bagi orang yang sakit. Anak yang agresif tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan skill dia sudah berkembang. Rasa sakit anak lain membuatnya merasa tidak nyaman. Alih-alih melarikan diri atau menggosok perut sendiri, seperti yang mungkin dilakukan setahun sebelumnya, ia merasa frustrasi dan bulu luar.
Pengajaran Empati
Meskipun pelatihan terbaik untuk empati dimulai pada masa bayi, tidak pernah terlalu terlambat untuk memulai. Bayi dan anak belajar paling oleh bagaimana orang tua mereka memperlakukan mereka ketika mereka pemarah, takut, atau marah. Pada saat seorang anak di prasekolah, Anda dapat mulai berbicara tentang perasaan orang lain.
Cara Anda menunjukkan empati Anda sendiri, tetapi, mungkin lebih penting daripada apa pun yang Anda katakan. Jika 3 Anda-tahun berseru, “Lihat wanita gemuk” dan Anda terbuka keluar anak Anda menangis dan mengatakan bahwa ia tidak boleh mempermalukan orang lain, Anda bekerja melawan diri sendiri. Sebaliknya, diam-diam dan dengan lembut menjelaskan mengapa mengatakan yang dapat membuat wanita itu merasa tidak enak. Tanyakan apakah dia pernah merasa tidak enak karena sesuatu yang orang kata. Meskipun demikian, beberapa 3-year-olds mungkin terlalu muda untuk memahami apa yang Anda katakan.
Bagaimana perasaan Anda jika seseorang mengambil mainan yang jauh dari Anda? Bagaimana teman Anda merasa jika seseorang mengambil sebuah mainan darinya? Pada saat seorang anak adalah 8, dia bisa bergulat dengan keputusan moral yang lebih kompleks di mana ia harus menyadari bahwa perasaan orang lain mungkin berbeda dari sendiri.

bermain sambil belajar

Dikirim 0leh Arjo moemedo 0 komentaran

The Importance of Play In Children’s Learning. Play is the language of children and is crucial to their development. Childrenof guiding a child through learning experiences by using language to help create the thought concepts needed to meet challenges. Mediated learning experiences provide a range of resources a child might use to solve problem without explicitly telling them how to solve the problem. If one simply gives the solution to a child, an opportunity to develop higher level thinking skills is lost. By allowing the child to make associations between previous experiences and the resources around them, they learn important developmental skills. Words and language are ‘resources’ that can be used to surround events in a child’s experience.

They are symbols that assist in the formulation of the thought constructs that influence future responses. Therapeutic games provide a mediated learning experience of socio-emotional skills with a skilled game leader. Have a natural inclination to play and having fun is an important issue to them. The reciprocity between play and learning equips them for physical, social, cognitive and linguistic challenges (Smilansky & Shefatya 1990). Opportunities for language acquisition, communication development, hypothesis testing, problem-solving, behaviour rehearsal and the formation of mental constructs arise in the natural setting of a child’s game. Prosocial skills like turn taking, explaining, negotiating, accommodating and sharing are exercised when two or more players are involved (Connolly et al, 1988). While engaged in play, children create ‘scripts’ that reflect the shared cognitive themes related to their cultural understanding (Fromberg, 1992).
The helping professions use games, psychodrama, role-plays and simulations to develop insight and empathy (Dromi & Krampf, 1986; Porter, 1995; Sheridan et al, 1995). Malouff and Schutte (1998) field-tested therapeutic games by evaluating the types of therapeutic experiences produced in the games and the extent to which players enjoyed them. The results supported the effectiveness of therapeutic games with children, adolescents and adults. In a meta-analysis of moral education interventions, Schlaefli et al (1985) concluded that programmes that involved moral dilemma discussion and psychological development, ran for a course of 3 to 12 weeks and involved a supportive adult, produced significant results.
Therapeutic games meet these criteria as well as being highly motivating for children. According to the social cognitive theories of Bandura (1986), children’s learning depends on their social milieu as much as their internal, inherited characteristics. By observing and imitating the interactions of those around them, children integrate behaviour into a framework of internal meaning. He concluded that programmes based on modelling, coaching, behavioural rehearsal and social reinforcement yield significant results. Vygotsky (1976), a child development theorist, postulated the importance of language as a mediating factor between a child and an event. He suggested adults help children develop higher level thinking skills through a process called ‘mediated learning’, that is, the process.

Kesehatan Reproduksi Remaj

Dikirim 0leh Arjo moemedo 0 komentaran

Pengertian kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan kesehatan yang sempurna baik secara fisik, mental, dan sosial dan bukan semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya.

Pengertian kesehatan reproduksi ini mencakup tentang hal-hal sebagai berikut: 1) Hak seseorang untuk dapat memperoleh kehidupan seksual yang aman dan memuaskan serta mempunyai kapasitas untuk bereproduksi; 2) Kebebasan untuk memutuskan bilamana atau seberapa banyak melakukannya; 3) Hak dari laki-laki dan perempuan untuk memperoleh informasi serta memperoleh aksebilitas yang aman, efektif, terjangkau baik secara ekonomi maupun kultural; 4) Hak untuk mendapatkan tingkat pelayanan kesehatan yang memadai sehingga perempuan mempunyai kesempatan untuk menjalani proses kehamilan secara aman.
Secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan reproduksi yaitu :
  1. Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil).
  2. Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan yang lain, dsb).
  3. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi karena ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita pada pria yang membeli kebebasannya secara materi, dsb).
  4. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular seksual, dsb).

Pengertian Minat

Dikirim 0leh Arjo moemedo 0 komentaran

Untuk mencapai prestasi yang baik disamping kecerdasan juga minat, sebab tanpa adanya minat segala kegiatan akan dilakukan kurang efektif dan efesien. Dalam percakapan sehari-hari pengertian perhatian dikacaukan dengan minat dalam pelaksanaan perhatian seolah-olah kita menonjolkan fungsi pikiran, sedangkan dalam minat seolah-olah menonjolkan fungsi rasa, tetapi kenyataanya apa yang menarik minat menyebabkan pula kita kita berperhatian, dan apa yang menyebabkan perhatian kita tertarik minatpun menyertai kita.” (Dakir. 1971 : 81)

Dari pengertian minat diatas memberikan pengertian bahwa minat menyebabkan perhatian dimana minat seolah-olah menonjolkan fungsi rasa dan perhatian seolah-olah menonjolkan fungsi pikiran. Hal ini menegaskan bahwa apa yang menarik minat menyebabkan pula kita berperhatian dan apa yang menyebabkan berperhatian kita tertarik, minatpun menyertainya jadi ada hubungan antara minat dan perhatian.
Pengertian Minat menurut Tidjan (1976 :71) adalah gejala psikologis yang menunjukan pemusatan perhatian terhadap suatu obyek sebab ada perasaan senang. Dari   pengertian   tersebut  jelaslah   bahwa   minat   itu   sebagai pemusatan perhatian atau reaksi terhadap suatu obyek seperti benda tertentu  atau   situasi   tertentu  yang  didahului oleh  perasaan   senang terhadap obyek tersebut.
Sedangkan menurut Drs. Dyimyati Mahmud (1982), Minat dalah sebagai sebab yaitu kekuatan pendorong yang memaksa seseorang menaruh perhatian pada orang situasi atau aktifitas tertentu dan bukan pada yang lain, atau minat sebagai akibat yaitu pengalaman efektif yang distimular oleh hadirnya seseorang atau sesuatu obyek, atau karena berpartisipasi dalam suatu aktifitas.
Berdasarkan definisi tersebut dapatlah penulis kemukakan bahwa minat mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
  1. Minat adalah suatu gejala psikologis
  2. Adanya pemusatan perhatian, perasaan dan pikiran dari subyek karena tertarik.
  3. Adanya  perasaan  senang  terhadap  obyek  yang  menjadi  sasaran
  4. Adanya   kemauan   atau   kecenderungan   pada   diri   subyek   untuk melakukan kegiatan guna mencapai tujuan.
Berdasarkan beberapa Pengertian Minat menurut alhi tersebut penulis simpulkan bahwa minat adalah gejala psikologis yang menunjukan bahwa minat adanya pengertian subyek terhadap obyek yang menjadi sasaran karena obyek tersebut menarik perhatian dan menimbulkan perasaan senang sehingga cenderung kepada obyek tersebut.

Teori perkembangan psikoseksual Sigmund Freud adalah salah satu teori yang paling terkenal, akan tetapi juga salah satu teori yang paling kontroversial. Freud percaya kepribadian yang berkembang melalui serangkaian tahapan masa kanak-kanak di mana mencari kesenangan-energi dari id menjadi fokus pada area sensitif seksual tertentu. Energi psikoseksual, atau libido , digambarkan sebagai kekuatan pendorong di belakang perilaku.

Menurut Sigmund Freud, kepribadian sebagian besar dibentuk oleh usia lima tahun. Awal perkembangan berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan terus mempengaruhi perilaku di kemudian hari.
Jika tahap-tahap psikoseksual selesai dengan sukses, hasilnya adalah kepribadian yang sehat. Jika masalah tertentu tidak diselesaikan pada tahap yang tepat, fiksasi dapat terjadi. fiksasi adalah fokus yang gigih pada tahap awal psikoseksual. Sampai konflik ini diselesaikan, individu akan tetap “terjebak” dalam tahap ini. Misalnya, seseorang yang terpaku pada tahap oral mungkin terlalu bergantung pada orang lain dan dapat mencari rangsangan oral melalui merokok, minum, atau makan.
1. Fase Oral
Pada tahap oral, sumber utama bayi interaksi terjadi melalui mulut, sehingga perakaran dan refleks mengisap adalah sangat penting. Mulut sangat penting untuk makan, dan bayi berasal kesenangan dari rangsangan oral melalui kegiatan memuaskan seperti mencicipi dan mengisap. Karena bayi sepenuhnya tergantung pada pengasuh (yang bertanggung jawab untuk memberi makan anak), bayi juga mengembangkan rasa kepercayaan dan kenyamanan melalui stimulasi oral.
Konflik utama pada tahap ini adalah proses penyapihan, anak harus menjadi kurang bergantung pada para pengasuh. Jika fiksasi terjadi pada tahap ini, Freud percaya individu akan memiliki masalah dengan ketergantungan atau agresi. fiksasi oral dapat mengakibatkan masalah dengan minum, merokok makan, atau menggigit kuku.
2. Fase Anal
Pada tahap anal, Freud percaya bahwa fokus utama dari libido adalah pada pengendalian kandung kemih dan buang air besar. Konflik utama pada tahap ini adalah pelatihan toilet – anak harus belajar untuk mengendalikan kebutuhan tubuhnya. Mengembangkan kontrol ini menyebabkan rasa prestasi dan kemandirian.
Menurut Sigmund Freud, keberhasilan pada tahap ini tergantung pada cara di mana orang tua pendekatan pelatihan toilet. Orang tua yang memanfaatkan pujian dan penghargaan untuk menggunakan toilet pada saat yang tepat mendorong hasil positif dan membantu anak-anak merasa mampu dan produktif. Freud percaya bahwa pengalaman positif selama tahap ini menjabat sebagai dasar orang untuk menjadi orang dewasa yang kompeten, produktif dan kreatif.
Namun, tidak semua orang tua memberikan dukungan dan dorongan bahwa anak-anak perlukan selama tahap ini. Beberapa orang tua ‘bukan menghukum, mengejek atau malu seorang anak untuk kecelakaan. Menurut Freud, respon orangtua tidak sesuai dapat mengakibatkan hasil negatif. Jika orangtua mengambil pendekatan yang terlalu longgar, Freud menyarankan bahwa-yg mengusir kepribadian dubur dapat berkembang di mana individu memiliki, boros atau merusak kepribadian berantakan. Jika orang tua terlalu ketat atau mulai toilet training terlalu dini, Freud percaya bahwa kepribadian kuat-analberkembang di mana individu tersebut ketat, tertib, kaku dan obsesif.
3. Fase Phalic
Pada tahap phallic , fokus utama dari libido adalah pada alat kelamin. Anak-anak juga menemukan perbedaan antara pria dan wanita. Freud juga percaya bahwa anak laki-laki mulai melihat ayah mereka sebagai saingan untuk ibu kasih sayang itu. Kompleks Oedipusmenggambarkan perasaan ini ingin memiliki ibu dan keinginan untuk menggantikan ayah.Namun, anak juga kekhawatiran bahwa ia akan dihukum oleh ayah untuk perasaan ini, takut Freud disebut pengebirian kecemasan.
Istilah Electra kompleks telah digunakan untuk menggambarkan satu set sama perasaan yang dialami oleh gadis-gadis muda. Freud, bagaimanapun, percaya bahwa gadis-gadis bukan iri pengalaman penis.
Akhirnya, anak menyadari mulai mengidentifikasi dengan induk yang sama-seks sebagai alat vicariously memiliki orang tua lainnya. Untuk anak perempuan, Namun, Freud percaya bahwa penis iri tidak pernah sepenuhnya terselesaikan dan bahwa semua wanita tetap agak terpaku pada tahap ini. Psikolog seperti Karen Horney sengketa teori ini, menyebutnya baik tidak akurat dan merendahkan perempuan. Sebaliknya, Horney mengusulkan bahwa laki-laki mengalami perasaan rendah diri karena mereka tidak bisa melahirkan anak-anak.
4. Fase Latent
Periode laten adalah saat eksplorasi di mana energi seksual tetap ada, tetapi diarahkan ke daerah lain seperti pengejaran intelektual dan interaksi sosial. Tahap ini sangat penting dalam pengembangan keterampilan sosial dan komunikasi dan kepercayaan diri.
Freud menggambarkan fase latens sebagai salah satu yang relatif stabil. Tidak ada organisasi baru seksualitas berkembang, dan dia tidak membayar banyak perhatian untuk itu. Untuk alasan ini, fase ini tidak selalu disebutkan dalam deskripsi teori sebagai salah satu tahap, tetapi sebagai suatu periode terpisah.
5. Fase Genital
Pada tahap akhir perkembangan psikoseksual, individu mengembangkan minat seksual yang kuat pada lawan jenis. Dimana dalam tahap-tahap awal fokus hanya pada kebutuhan individu, kepentingan kesejahteraan orang lain tumbuh selama tahap ini. Jika tahap lainnya telah selesai dengan sukses, individu sekarang harus seimbang, hangat dan peduli. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menetapkan keseimbangan antara berbagai bidang kehidupan.

Prestasi belajar yang dicapai seorang individu merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor eksternal) individu. Pengenalan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar penting sekali artinya dalam rangka membantu murid dalam mencapai prestasi belajar yang sebaik-baiknya. Langsung saja Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar yaitu:

A. Faktor-faktor Internal
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari individu anak itu sendiri yang meliputi :
1.   Faktor Jasmaniah (fisiologis)
Yang termasuk faktor ini antara lain: penglihatan, pendengaran, struktur tubuh dan sebagainya.
2.   Faktor Psikologis
Yang termasuk faktor psikologis antara lain:
- Intelektul (taraf intelegensi, kemampuan belajar, dan cara belajar).
- Non Intelektual (motifasi belajar, sikap, perasaan, minat, kondisi psikis, dan kondisi akibat keadaan sosiokultur).
- Faktor kondisi fisik.

B. Faktor-faktor Eksternal

Yang termasuk faktor eksternal antara lain:
1. Faktor pengaturan belajar disekolah ( kurikulum, disiplin sekolah, guru, fasilitas belajar, dan pengelompokan siswa ).
2. Faktor sosial disekolah ( sistem sosial, status sosial siswa, dan interaksi guru dan siswa ).
3. Faktor situasional ( keadaan politi ekonomi, keadaan waktu dan tempat atau iklim). (W. S. Winkel, 1983: 43).
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu dan faktor yang berasal dari luar diri individu. Kedua faktor ini akan saling mendukung dan saling berinteraksi sehingga membuahkan sebuah hasil belajar.

Peran Guru dalam Pembelajaran

Dikirim 0leh Arjo moemedo 0 komentaran

Dalam melakukan proses pembelajaran dikelas maupun membimbing anak-anak dan siswa guru harus memperhatikan segala aspek psikologi ,perkembangan ,ingatan, memori dan pola berpikir anak .Hal ini penting untuk menumbuhkan kepercayaan dan mengembangkan potensi yang ada pada siswa atau anak agar anak dan siswa mampu tumbuh dan perkembang sesuai dengan harapan orang tua,guru dan masyarakat Permasalahan yang ada pada anak hendaknya penyelesaiannya melibatkan komponen orang tua, guru , masyarakat dan konsuler.

Orang tua,guru dan masyarakat harusnya memahami bahwa tugas sebagai guru hanya kesuksesan anak itu bukan hanya mampu mendapatkan nilai yang tinggi tetapi juga mampu mengembangan nilai spritual (kecerdasan spritual) dan kecerdasan emosian yang terkadang kecerdasan emosian dan spiritual yang mampu membawa kesuksesan terhadap anak dalam kehidupan di masyarakat.
Dalam belajar haruslah diperhatikan faktor yang mempebaruhi sisiwa dalam memperoleh dan mengingat pengetahuan . Oleh sebab itu guru haruslah memperhatikan hal tersebut dalam memlakukan pembelajaran dikelas dengan memperhatikan hal tersebut pengetahuan yang diberikan oleh guru akan menjadi ingatan yang setia dalam memori siswa.

Bentuk-Bentuk Bimbingan Kelompok ada beberapa  macam. Macam-macam Bimbingan Kelompok ini dapat digunakan pada situasi dan permasalahan tersendiri. Konselor harus dapat menilai dan melihat keadaan kliennya dan dapat menggunakan Layanan Bimbingan Kelompok dengan pas dan terarah. Beberapa jenis metode bimbingan kelompok menurut Tohirin (2007: 290 yaitu:

Program Home Room

Program ini dilakukan dilakukan di luar jam perlajaran dengan menciptakan kondisi sekolah atau kelas seperti di rumah sehingga tercipta kondisi yang bebas dan menyenangkan. Dengan kondisi tersebut siswa dapat mengutarakan perasaannya seperti di rumah sehingga timbul suasana keakraban. Tujuan utama program ini adalah agar guru dapat mengenal siswanya secara lebih dekat sehingga dapat membantunya secara efsien.

Karyawisata

Karyawisata dilaksanakan dengan mengunjungi dan mengadakan peninjauan pada objek-objek yang menarik yang berkaitan dengan pelajaran tertentu. Mereka mendapatkan informasi yang mereka butuhkan. Hal ini akan mendorong aktivitas penyesuaian diri, kerjasama, tanggung jawab, kepercayaan diri serta mengembangkan bakat dan cita-cita.

Diskusi kelompok

Diskusi kelompok merupakan suatu cara di mana siswa memperoleh kesempatan untuk memecahkan masalah secara bersama-sama. Setiap siswa memperoleh kesempatan untuk mengemukakan pikirannya masing-masing dalam memecahkan suatu masalah. Dalam memlakukan diskusi siswa diberi peran-peran tertentuseperti pemimpin diskusi dan notulis dan siswa lain menjadi peserta atau anggota. Dengan demikian akan timbul rasa tanggung jawab dan harga diri.

Kegiatan Kelompok

Kegiatan kelompok dapat menjadi suatu teknik yang baik dalam bimbingan, karena kelompok dapat memberikan kesempatan pada individu (para siswa) untuk berpartisipasi secara baik. Banyak kegiatan tertentu yang lebih berhasil apabila dilakukan secara kelompok. Melalui kegiatan kelompok dapat mengembangkan bakat dan menyalurkan dorongan-dorongan tertentu dan siswa dapat menyumbangkan pemikirannya. Dengan demikian muncul tanggung jawab dan rasa percaya diri.

Organisasi Siswa

Organisasi siswa khususnya di lingkungan sekolah dan madrasah dapat menjadi salah satu teknik dalam bimbingan kelompok. melalui organisasi siswa banyak masalah-masalah siswa yang baik sifatnya individual maupun kelompok dapat dipecahkan. Melalui organisasi siswa, para siswa memperoleh kesempatan mengenal berbagai aspek kehidupan sosial. Mengaktifkan siswa dalam organisasi siswa dapat mengembangkan bakat kepemimpinan dan memupuk rasa tanggung jawab serta harga diri siswa.

Sosiodrama

Sosiodrama dapat digunakan sebagai salah satu cara bimbingan kelompok. sosiodrama merupakan suatu cara membantu memecahkan masalah siswa melalui drama. Masalah yang didramakan adalah masalah-masalah sosial. Metode ini dilakukan melalui kegiatan bermain peran. Dalam sosiodrama, individu akan memerankan suatu peran tertentu dari situasi masalah sosial.
Pemecahan masalah individu diperoleh melalui penghayatan peran tentang situasi masalah yang dihadapinya. Dari pementasan peran tersebut kemudian diadakan diskusi mengenai cara-cara pemecahan masalah.

Psikodrama

Hampir sama dengan sosiodrama. Psikodrama adalah upaya pemecahan masalah melalui drama. Bedanya adalah masalah yang didramakan. Dalam sosiodrama masalah yang diangkat adalah masalah sosial, akan tetapi pada psikodrama yang didramakan adalah masalah psikis yang dialami individu.

Pengajaran Remedial

Pengajaran remedial (remedial teaching) merupakan suatu bentuk pembelajaran yang diberikan kepada seorang atau beberapa orang siswa untuk membantu kesulitan belajar yang dihadapinya. Pengajaran remedial merupakan salah satu teknik pemberian bimbingan yang dapat dilakukan secara individu maupun kelompok tergantung kesulitan belajar yang dihadapi oleh siswa.

Pengertian Bimbingan dan Konseling


Definisi Bimbingan

Dalam mendefinisikan istilah bimbingan, para ahli bidang bimbingan dan konseling memberikan pengertian yang berbeda-beda. Meskipun demikian, pengertian yang mereka sajikan memiliki satu kesamaan arti bahwa bimbingan merupakan suatu proses pemberian bantuan.
Menurut Abu Ahmadi (1991: 1), bahwa bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada individu (peserta didik) agar dengan potensi yang dimiliki mampu mengembangkan diri secara optimal dengan jalan memahami diri, memahami lingkungan, mengatasi hambatan guna menentukan rencana masa depan yang lebih baik. Hal senada juga dikemukakan oleh Prayitno dan Erman Amti (2004: 99), Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, atau orang dewasa; agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Sementara Bimo Walgito (2004: 4-5), mendefinisikan bahwa bimbingan adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada individu atau sekumpulan individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya, agar individu dapat mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Chiskolm dalam McDaniel, dalam Prayitno dan Erman Amti (1994: 94), mengungkapkan bahwa bimbingan diadakan dalam rangka membantu setiap individu untuk lebih mengenali berbagai informasi tentang dirinya sendiri.

Definisi Konseling

Konseling adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka antarab dua orang dalam mana konselor melalui hubungan itu dengan kemampuan-kemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan situasi belajar. Dalam hal ini konseli dibantu untuk memahami diri sendiri, keadaannya sekarang, dan kemungkinan keadaannya masa depan yang dapat ia ciptakan dengan menggunakan potensi yang dimilikinya, demi untuk kesejahteraan pribadi maupun masyarakat. Lebih lanjut konseli dapat belajar bagaimana memecahkan masalah-masalah dan menemukan kebutuhan-kebutuhan yang akan datang. (Tolbert, dalam Prayitno 2004 : 101).
Jones (Insano, 2004 : 11) menyebutkan bahwa konseling merupakan suatu hubungan profesional antara seorang konselor yang terlatih dengan klien. Hubungan ini biasanya bersifat individual atau seorang-seorang, meskipun kadang-kadang melibatkan lebih dari dua orang dan dirancang untuk membantu klien memahami dan memperjelas pandangan terhadap ruang lingkup hidupnya, sehingga dapat membuat pilihan yang bermakna bagi dirinya.
Dari semua pendapat di atas dapat dirumuskan dengan singkat bahwa Bimbingan Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling (face to face) oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut konseli) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi konseli serta dapat memanfaatkan berbagai potensi yang dimiliki dan sarana yang ada, sehingga individu atau kelompok individu itu dapat memahami dirinya sendiri untuk mencapai perkembangan yang optimal, mandiri serta dapat merencanakan masa depan yang lebih baik untuk mencapai kesejahteraan hidup.

Tanda dari kesulitan belajar

Dikirim 0leh Arjo moemedo 0 komentaran

Tanda dari kesulitan belajar sangat bervariasi, tergantung dari usia pada saat itu. Sensitifitas atau kepekaan orang tua dan guru seringkali sangat membantu dalam deteksi dini. Orang tua atau guru yang melihat adanya kesenjangan yang konsisten antara kemampuan akademik anak dengan kemampuan rata-rata teman sekelasnya atau prestasi anak yang tidak kunjung meningkat walaupun pelajaran tambahan sudah diberikan, haruslah mulai berfikir apa yang sebenarnya terjadi dalam diri sang anak.

Apalagi jika disertai oleh beberapa Macam-macam Kesulitan Belajar di bawah ini :
  1. Keterlambatan berbicara jika dibandingkan anak seusianya
  2. Adanya kesulitan dalam pengucapan kata
  3. kemampuan penguasaan jumlah kata yang minim
  4. Seringkali tidak mampu menemukan kata yang sesuai untuk suatu kalimat.
  5. Kesulitan untuk mempelajari dan mengenali angka, huruf dan nama-nama hari dalam seminggu
  6. Mengalami kesulitan dalam menghubung-hubungkan kata dalam suatu kalimat
  7. Kegelisahan yang sangat ekstrim dan mudah teralih perhatiannya
  8. Kesulitan berinteraksi dengan anak seusianya
  9. Menunjukkan kesulitan dalam mengikuti suatu petunjuk atau rutinitas tertentu
  10. Selalu menghindari permainan `puzzles’
  11. Menghindari pelajaran menggambar atau prakarya tertentu seperti menggun-ting
Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa : (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan (4) kepribadian.(Abin syamsudin, 2003).

Cara mengukur prestasi belajar

Dikirim 0leh Arjo moemedo 0 komentaran

Cara mengukur prestasi belajar yang selama ini digunakan adalah dengan mengukur tes-tes, yang biasa disebut dengan ulangan. Tes dibagi menjadi dua yaitu: tes formatif dan tes sumatif. Tes formatif adalah tes yang diadakan sebelum atau selama pelajaran berlangsung, sedangkan tes sumatif adalah tes yang diselenggarakan pada saat keseluruhan kegiatan belajar mengajar, tes sumatifmerupakan ujian akkhir semester.

Menurut Suharsimi Arikunto dalam bukunya Evaluasi Pendidikan (1986: 26) menyebutkan “ Tes dibedakan menjadi tiga macam yaitu tes diagnostik, tes formatif, tes sumative”
  1. Tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk menentukan kelemahan dan kelebihan siswa dengan melihat gejala-gejalanya sehingga diketahui kelemahan dan kelebihan tersebut pada siswa dapat dilakukan perlakuan yang tepat.
  2. Tes formatif adalah untuk mengetahui sejauh mana siswa telah memahami suatu satuan pelajaran tertentu. Tes ini diberikan sebagai usaha memperbaiki proses belajar.
  3. Tes sumatif dapat digunakan pada ulangan umum yang biasanya dilaksanakan pada akhir catur wulan atau semester. Dari tes sumatif inilah prestasi belajar siswa diketahui. Dalam penelitian ini evaluasi yang digunakan adalah dalam jenis yang di titik beratkan pada evaluasi belajar siswa di sekolah yang dilaksanakan oleh guru untuk mengetahui prestasi belajar siswa.
Sebagaimana yang telah diuraikan di atasbahwa tes ini  dilaksanakan dengan berbagai tujuan. Khusus terkait dengan pembelajaran, tes ini dapat berguna untuk mendeskripsikan kemampuan belajar siswa,  mengetahui tingkat keberhasilan PBM, menentukan tindak lanjut hasil penilaian, dan memberikan pertanggung jawaban (accountability).

tugas perkembangan

Dikirim 0leh Arjo moemedo 0 komentaran


Fase dan Tugas Perkembangan

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa teori-teori yang ada dapat digolongkan menjadi 3 macam yakni :
1. Fase berdasarkan Biologis
2. fase berdasarkan Didaktis
3. Fase berdasarkan Psikologis

I. Fase berdasarkan Biologis
Yang dimaksud dengan fase berdasarkan biologis adalah : para ahli mendasarkan bahasanya pada kondisi atau proses pertumbuhan biologis anak.
Yang termasuk kelompok ini antara lain :

a. Menurut Kretschmer, bahwa perkembangan anak terbagi menjadi 4 fase, yaitu :
• Fullungs periode I : umur 0 : 0 – 3 = o, pada masa ini dalam keadaan pendek, gemuk, bersifat terbuka, mudah bergaul dan mudah didekati.
• Strecungs periode I : umur 3 : 0 – 7 : 0, kondisi badan anak tampak langsing (tidak begitu gemuk) biasanya sikap anak tertutup, sukar bergaul dan sukar didekati.
• Fullungs periode II : umur 7 : 0 – 13 : 0, keadaan fisik anak kembali gemuk.
• Strecungs periode II : umur 13 : 0 – 20, keadaan fisik anak kembali langsing.

b. Menurut Aristoteles, bahwa perkembangan anak terbagi dalam 3 fase, yaitu :
• Fase I : umur 0-7 disebut masa nak kecil, kegiatan anak waktu ini hanya bermain.
• Fase II : umur 7-14, masa sekolah, dimana anak mulai belajar di sekolah dasar.
• Fase III : umur 14-21, disebut masa remaja atau pubertas, masa ini adalah masa peralihan (transisi)dari anak menjadi dewasa.

c. Sigmud Freud, membagi perkembangan anak menjadi 6 fase , yaitu :

• fase Oral : 0-1 : pada fase ini mulut merupakan sentral pokok keaktifan yang dinamis.
• fase anal : 1-3 : dorongan dan tahanan berpusat pada alat pembuangan kotoran.
• fase phalis : 3-5 : pada fase ini alat kelamin merupakan daerah organ paling perasa.
• fase Latent : 5-12/13 : impuls-impuls cenderung berada pada kondisi tertekan.
• fase pubertas : 12/13-20: fase ini impuls-impuls (dorongan kembali menonjol).
• fase Genital : umur 20 ke atas : seseorang telah sampai pada awal dewasa.

d. Jasse Feiring Williams
Ia membagi perkembangan anak dengan :
• Masa nursery dan kendergarden 0-6
• Masa cepat memperoleh kekuatan/tenaga 6-10
• Masa cepat perkembangan tubuh 10-14
• Masa adolesen 14-19 masa perubahan pola dan kepentingan dan kemampuan anak dengan cepat.

Fase berdasarkan Dedaktis
Yang dimaksud dari tinjauan ini adalah dari segi keperluan/materi apa kiranya yang dapat diberikan kepada anak didik pada masa-masa tertentu, serta memikirkan tentang metode yang paling efektif untuk diterapkan dalam mengajar atau mendidik anak pada masa tertentu. Para ahli yang termasuk dalam kelompok ini antara lain :

a. Johann Amos Comenius (Komensky)
• Scola maternal (sekolah ibu) usia 0-6, anak menggambarkan organ tubuh dan panca indera di bawah asuhan ibu (keluarga).
• Scole vermacula (sekolah bahasa ibu) usia 6-12, mengembangkan pikiran, ingatan dan perasaannya di sekolah dengan menggunakan bahasa daerah (bahasa ibu)
• Scola latina (sekolah bahasa latin) masa anak mengembangkan potensinya terutama daya intelektualnya dengan bahasa asing, pada usia 12-18.
• Academia (akademi) adalah pendidikan yang tepat bagi anak usia 18-14 tahun.

b. Jean Jacques Rousseau
Dalam karyanya “Emile eu du I’education”, memuat tahapan perkembangan anak antara lain :
• Usia 0-2 tahun : masa asuhan (nursery)
• Usia 2 –12 tahun : masa pentingnya pendidikan jasmani dan alat-lat indera.
• Usia 12-15 tahun : masa berkembangnya fikiran dan juga pubertas.
• Usia 15-20 tahun : masa pentingnya pendidikan serta pembentukan watak, kesusilaan, juga pembinaan mental agama.

c. Maria Montessori, membaginya dengan :
• 1-7 tahun : masa penerimaan dan pengaturan rangsangan dari dunia luar melalui alat indra.
• 7-12 tahun : masa abstrak, dimana anak mulai memperhatikan masalah kesusilaan, mulai fungsi perasaan ethisnya.
• 12-18 tahun : masa penemuan diri serta kepuasan terhadap masalah-masalah sosial.
• 18-24 tahun : masalah pendidikan di perguruan tinggi melatih anak akan kepentingan realitas dunia.

Periode Berdasarkan Psikologis

Para ahli membahas perkembangan jiwa anak, orientasi dari sudut pandang psikologis.
a. Pendapat Kroh
• Dari lahir hingga Trotz periode I disebut masa anak-anak awal (0-3/4 tahun)
• dari Trotz periode I hingga Trotz periode II disebut masa keserasian bersekolah (3, 0/4-12/13)
• Dari Trotz periode II hingga akhir masa remaja disebut masa kematangan(12/13-21).
b. Charlotte Buhler, membagi perkembangan anak menjadi 5 fase :
• Fase I (0-1) perkembangan sikap subyektif menjadi obyektif
• Fase II (I-4) makin luasnya hubungan dengan benda-benda sekitarnya atau mengenal benda-benda secara subyektif.
• Fase III (4-8) masa pemasukan diri pada masyarakat secara obyektif, adanya hubungan sosial.
• Fase IV (8-13)munculnya minat ke dunia obyek sampai pada puncaknya, ia mulai memisahkan diri dari orang lain dan disekitarnya secara sadar.
• Fase V (13-19) masa penemuan diri dan kematangan yakni synthesa sikap subyektif dan obyektif.


Havigrust (dalam Muhammad Ali, 2008: 171) mendefinisikan tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar satu periode tertentu dari kehidupan individu dan jika berhasil akan menimbulkan fase bahagia dan membawa keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya. Akan tetapi kalau gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya.
Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meningkatkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan remaja menurut Hurlock (dalam Muhammad Ali, 2008 : 10) adalah :
  1. Mampu menerima keadaan fisiknya;
  2. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa;
  3. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis;
  4. Mencapai kemandirian emosional;
  5. Mencapai kemandirian ekonomi;
  6. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat;
  7. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua;
  8. Mengembangkan perilaku tanggung jawab social yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa;

Elizabeth B. Hurlock

Dikirim 0leh Arjo moemedo Monday, December 13, 2010 0 komentaran

Pola Kepribadian Individu – Elizabeth B. Hurlock

Membicarakan tentang pola kepribadian, kita akan menjumpai berbagai teori yang sangat beragam. Dengan merujuk pada tulisan yang dibuat oleh  Depdiknas (2007), di bawah ini  akan diuraikan sekilas tentang pola kepribadian sebagaimana disampaikan oleh Elizabeth B. Hurlock (1978) yang mengatakan bahwa pola kepribadian merupakan suatu penyatuan struktur yang multidimensi yang terdiri atas “self-concept” sebagai inti atau pusat gravitasi kepribadian dan “traits” sebagai struktur yang mengintegrasikan kecenderungan pola-pola respon.
Pola Kepribadian  Individu - Elizabeth B. Hurlock
1. Self-concept (Concept of self )
Self-concept ini dapat diartikan sebagai (a) persepsi, keyakinan, perasaan, atau sikap seseorang tentang dirinya sendiri; (b) kualitas penyikapan individu tentang dirinya sendiri; dan (c) suatu sistem pemaknaan individu tentang dirinya sendiri dan pandangan orang lain tentang dirinya.
Self-concept ini memiliki tiga komponen, yaitu: (a) perceptual atau physical self-concept, citra seseotang tentang penampilan dirinya (kemenarikan tubuh atau bodinya), seperti: kecantikan, keindahan, atau kemolekan tubuhnya; (b) conceptual atau psychological self-concept, konsep seseorang tentang kemampuan (keunggulan) dan ketidakmampuan (kelemahan) dirinya, dan masa depannya, serta meliputi kualitas penyesuaian hidupnya: honesty, self-confidence, independence, dan courage; dan (c) attitudinal, yang menyangkut perasaan seseorang tentang dirinya, sikapnya terhadap keberadaan dirinya sekarang dan masa depannya, sikapnya terhadap keberhargaan, kebanggaan, dan kepenghinaannya. Apabila seseorang sudah masuk masa dewasa, komponen ketiga ini juga terkait dengan aspek-aspek: keyakinan, nilai-nilai, idealita, aspirasi, dan komitmen terhadap way of life hidupnya.
Dilihat dari jenisnya, Self-concept ini terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
  1. The Basic Self-concept. Jane menyebutnya “real-self”, yaitu konsep seseorang tentang dirinya sebagaimana adanya. Jenis ini meliputi : persepsi seseorang tentang penampilan dirinya, kemampuan dan ketidakmampuannya, peranan dan status dalam kehidupannya, dan nilai-nilai, keyakinan, serta aspirasinya.
  2. The Transitory Self-concept. Ini artinya bahwa seseorang memiliki “self-concept” yang pada suatu saat dia, memegangnya, tetapi pada saat lain dia melepaskannya. “self-concept” ini mungkin menyenangkan tapi juga tidak menyenangkan. Kondisinya sangat situasional, sangat dipengaruhi oleh suasana perasaan (emosi), atau pengalaman yang lalu.
  3. The Social Self-concept. Jenis ini berkembang berdasarkan cara individu mempercayai orang lain yang mempersepsi dirinya, baik melalui perkataan maupun tindakan. Jenis ini sering juga dikatakan sebagai “mirror image”. Contoh: jika kepada seorang anak dikatakan secara terus-menerus bahwa dirinya “naughty” (nakal), maka dia akan mengembangkan konsep dirinya sebagai anak yang nakal. Perkembangan konsep diri sosial seseorang dipengaruhi oleh jenis kelompok sosial dimana dia hidup, baik keluarga, sekolah, teman sebaya, atau masyarakat. Jersild mengatakan bahwa apabila seorang anak diterima, dicintai, dan dihargai oleh orang-orang yang berarti baginya (yang pertama orang tuanya, kemudian guru, dan teman) maka anak akan dapat mengembangkan sikap untuk menerima dan menghargai dirinya sendiri. Namun apabila orang-orang yang berarti (signifant others) itu menghina, menyalahkan, dan menolaknya, maka anak akan mengembangkan sikap-sikap yang tidak menyenangkan bagi dirinya sendiri.
  4. The Ideal Self-concept. Konsep diri ideal merupakan persepsi seseorang tentang apa yang diinginkan mengenai dirinya, atau keyakinan tentang apa yang seharusnya mengenai dirinya. Konsep diri ideal ini terkait dengan citra fisik maupun psikhis. Pada masa anak terdapat diskrepansi yang cukup renggang antara konsep diri ideal dengan konsep diri yang lainnya. Namun diskrepansi itu dapat berkurang seiring dengan berkembangnya usia anak (terutama apabila seseorang sudah masuk usia dewasa).
Perkembangan self-concept dipengaruhi oleh dipengaruhi oleh berbagai faktor,  seperti tertera pada gambar berikut ini.
Kepribadian  Individu - Elizabeth B. Hurlock
2. Traits (Sifat-sifat)
Traits ini berfungsi untuk mengintegrasikan kebiasaan, sikap, dan keterampilan kepada pola-pola berpikir, merasa, dan bertindak. Sementara konsep diri berfungsi untuk mengintegrasikan kapasitas-kapasitas psikologis dan prakarsa-prakarsa kegiatan.
Traits dapat diartikan sebagai aspek atau dimensi kepribadian yang terkait dengan karakteristik respon atau reaksi seseorang yang relatif konsisten (ajeg) dalam rangka menyesuaikan dirinya secara khas. Dapat diartikan juga sebagai kecenderungan yang dipelajari untuk mereaksi rangsangan dari lingkungan.
Deskripsi dan definisi traits di atas menggambarkan bahwa traits merupakan kecenderungan-kecenderungan yang dipelajari untuk (a) mengevaluasi situasi dan (b) mereaksi situasi dengan cara-cara tertentu.
Setiap traits mempunyai tiga karakteristik: (a) Uniqueness, kekhasan dalam berperilaku, (b) likeableness, yaitu bahwa trait itu ada yang disenangi (liked) dan ada yang tidak disenangi (disliked), sebab traits itu berkontribusi kepada keharmonisan atau ketidakharmonisan, kepuasan atau ketidakpuasan orang yang mempunyai traits tersebut. Traits yang disenangi seperti: jujur, murah hati, sabar, kasih sayang, peduli, dan bertanggung jawab. Sedangkan yang tidak disenangi seperti: egois, tidak sopan, ceroboh, pendendam, dan kejam/bengis. Sikap seseorang terhadap traits ini merupakan hasil belajar dari lingkungan sosialnya; dan (c) consistency, artinya bahwa seseorang itu diharapkan dapat berperilaku atau bertindak secara ajeg.
Sama halnya dengan “self-concept”, “traits” pun dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor hereditas dan belajar. Faktor yang paling mempengaruhi adalah (a) pola asuh orang tua, dan (b) imitasi anak terhadap orang yang menjadi idolanya. Beberapa trait dipelajari secara “trial dan error”, artinya belajar anak lebih bersifat kebetulan, seperti perilaku agresif dalam mereaksi frustasi. Contohnya: anak menangis sambil membanting pintu kamarnya, gara-gara tidak dibelikan mainan yang diinginkannya. Apabila dengan perbuatan agresifnya itu, orang tua akhirnya membelikan mainan yang diinginkan anak, maka anak cenderung akan mengulangi perbuatan tersebut. Demikian terjadi pada orang dewasa bersikap kurang percaya kepada orang lain sehingga menunjukkan perilaku suka protes seperti “unjuk rasa” sambil berperilaku brutal terhadap ketidakpuasan manajerial perusahaan atau menuntut kenaikan gaji kepada perusahaan. Para pengunjuk rasa melakukan aksi protes dengan cara brutal tersebut apabila pada akhirnya dipenuhi oleh perusahaan maka cara-cara protes demikian akan diulang-ulang untuk mengintimidasi para pengambil kebijakan.
Anak juga belajar (memahami) bahwa traits atau sifat-sifat dasar tertentu sangat dihargai (dijunjung tinggi) oleh semua kelompok budaya secara universal, seperti: kejujuran, respek terhadap hak-hak orang lain, disiplin, tanggung jawab, dan sikap apresiatif.
============
Sumber:
Diambil dan adaptasi dari :
Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional Tahun. 2007. Pengembangan Kepribadian.( materi diklat pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah). Jakarta

Tujuan Pembelajaran

Dikirim 0leh Arjo moemedo 0 komentaran

harulhuda_bkupyh@yahoo.co.idTujuan Pembelajaran sebagai Komponen Penting dalam Pembelajaran

A. Pendahuluan
Kegiatan menyusun rencana pembelajaran merupakan salah satu tugas penting guru dalam memproses pembelajaran siswa. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional yang dituangkan dalam Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 tentang Standar Proses disebutkan bahwa salah satu komponen dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yaitu adanya tujuan pembelajaran yang di dalamnya menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar.
Tujuan Pembelajaran
Agar  proses pembelajaran dapat terkonsepsikan dengan baik, maka seorang guru dituntut untuk mampu menyusun dan merumuskan tujuan pembelajaran secara jelas dan tegas. Oleh karena itu, melalui tulisan yang sederhana ini akan dikemukakan secara singkat tentang apa dan bagaimana merumuskan tujuan pembelajaran. Dengan harapan dapat memberikan pemahaman kepada para guru dan calon guru agar dapat merumuskan tujuan pembelajaran secara tegas dan jelas dari mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya..
B. Apa Tujuan Pembelajaran itu?
Salah satu sumbangan terbesar dari aliran psikologi behaviorisme terhadap pembelajaran bahwa pembelajaran seyogyanya memiliki tujuan. Gagasan perlunya tujuan dalam pembelajaran pertama kali dikemukakan oleh B.F. Skinner pada tahun 1950. Kemudian diikuti oleh Robert Mager pada tahun 1962 yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Preparing Instruction Objective. Sejak pada tahun 1970 hingga sekarang penerapannya semakin meluas  hampir  di seluruh lembaga pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia.
Merujuk pada tulisan Hamzah B. Uno (2008) berikut ini dikemukakan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli. Robert F. Mager (1962) mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran adalah perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi dan tingkat kompetensi tertentu.  Kemp (1977) dan David E. Kapel (1981) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan. Henry Ellington (1984) bahwa tujuan pembelajaran adalah pernyataan yang diharapkan dapat dicapai sebagai hasil belajar. Sementara itu, Oemar Hamalik (2005) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran adalah suatu deskripsi mengenai tingkah laku yang diharapkan tercapai oleh siswa setelah berlangsung pembelajaran .
Meski para ahli memberikan rumusan tujuan pembelajaran yang beragam, tetapi semuanya menunjuk pada esensi yang sama, bahwa : (1) tujuan pembelajaran adalah tercapainya perubahan perilaku atau kompetensi pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran; (2) tujuan dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau deskripsi yang spesifik.  Yang menarik untuk digarisbawahi  yaitu dari pemikiran Kemp dan David E. Kapel bahwa perumusan tujuan pembelajaran harus diwujudkan dalam bentuk tertulis. Hal ini mengandung implikasi bahwa setiap perencanaan pembelajaran seyogyanya dibuat secara tertulis (written plan).
Upaya merumuskan tujuan pembelajaran dapat memberikan manfaat tertentu, baik bagi guru maupun siswa. Nana Syaodih Sukmadinata (2002) mengidentifikasi 4 (empat) manfaat dari tujuan pembelajaran, yaitu: (1) memudahkan dalam mengkomunikasikan maksud kegiatan belajar mengajar kepada siswa, sehingga siswa dapat melakukan perbuatan belajarnya secara  lebih mandiri; (2) memudahkan guru memilih dan menyusun bahan ajar; (3) membantu memudahkan guru menentukan kegiatan belajar dan media pembelajaran; (4) memudahkan guru mengadakan penilaian.
Dalam Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 tentang Standar Proses disebutkan bahwa tujuan pembelajaran memberikan petunjuk untuk memilih isi mata pelajaran, menata urutan topik-topik, mengalokasikan waktu, petunjuk dalam memilih alat-alat bantu pengajaran dan prosedur pengajaran, serta menyediakan ukuran (standar) untuk mengukur prestasi belajar siswa.
B . Bagaimana Merumuskan Tujuan Pembelajaran?
Seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, saat ini telah terjadi pergeseran dalam perumusan tujuan pembelajaran. W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) mengemukakan pada masa lampau guru diharuskan menuliskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk bahan yang akan dibahas dalam pelajaran, dengan menguraikan topik-topik atau konsep-konsep yang akan dibahas selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Tujuan pembelajaran pada masa lalu ini tampak lebih mengutamakan pada pentingnya penguasaan bahan bagi siswa dan pada umumnya yang dikembangkan melalui pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered). Namun seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, tujuan pembelajaran yang semula lebih memusatkan pada penguasaan bahan, selanjutnya bergeser menjadi penguasaan kemampuan siswa atau biasa dikenal dengan sebutan penguasaan kompetensi atau performansi. Dalam praktik pendidikan di Indonesia, pergeseran tujuan pembelajaran ini terasa  lebih mengemuka sejalan dengan munculnya gagasan penerapan Kurikulum  Berbasis Kompetensi.
Selanjutnya, W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) menegaskan bahwa seorang guru profesional harus merumuskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk perilaku siswa yang dapat diukur yaitu menunjukkan apa yang dapat dilakukan oleh siswa tersebut sesudah mengikuti pelajaran.
Berbicara tentang perilaku siswa sebagai tujuan belajar, saat ini para ahli pada umumnya sepakat untuk menggunakan pemikiran dari Bloom (Gulo, 2005) sebagai tujuan pembelajaran. Bloom mengklasifikasikan perilaku individu ke dalam tiga ranah atau kawasan, yaitu: (1) kawasan kognitif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek intelektual atau berfikir/nalar, di dakamnya mencakup: pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), penguraian (analysis), memadukan (synthesis), dan penilaian (evaluation); (2) kawasan afektif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya, di dalamnya mencakup: penerimaan (receiving/attending), sambutan (responding), penilaian (valuing), pengorganisasian (organization), dan karakterisasi (characterization); dan (3) kawasan psikomotor yaitu kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot (neuronmuscular system) dan fungsi psikis. Kawasan ini terdiri dari : kesiapan (set), peniruan (imitation, membiasakan (habitual), menyesuaikan (adaptation) dan  menciptakan (origination). Taksonomi ini merupakan kriteria yang dapat digunakan oleh guru untuk mengevaluasi mutu dan efektivitas pembelajarannya.
Dalam sebuah perencanaan pembelajaran tertulis (written plan/RPP), untuk merumuskan tujuan pembelajaran tidak dapat dilakukan secara sembarangan, tetapi harus memenuhi beberapa kaidah atau kriteria tertentu. W. James Popham dan Eva L. Baker (2005)  menyarankan dua kriteria yang harus dipenuhi dalam memilih tujuan pembelajaran, yaitu: (1) preferensi nilai guru yaitu cara pandang dan keyakinan guru mengenai apa yang penting dan seharusnya diajarkan kepada siswa serta bagaimana cara membelajarkannya; dan (2)  analisis taksonomi perilaku sebagaimana dikemukakan oleh Bloom di atas. Dengan menganalisis taksonomi perilaku ini, guru akan dapat menentukan dan menitikberatkan bentuk dan jenis pembelajaran yang akan dikembangkan, apakah seorang guru hendak menitikberatkan pada pembelajaran kognitif, afektif ataukah psikomotor.
Menurut Oemar Hamalik (2005) bahwa komponen-komponen yang harus terkandung dalam tujuan pembelajaran, yaitu (1) perilaku terminal, (2) kondisi-kondisi dan (3) standar ukuran. Hal senada dikemukakan Mager (Hamzah B. Uno, 2008) bahwa tujuan pembelajaran sebaiknya mencakup tiga komponen utama, yaitu: (1) menyatakan apa yang seharusnya dapat dikerjakan siswa selama belajar dan kemampuan apa yang harus dikuasainya pada akhir pelajaran; (2) perlu dinyatakan kondisi dan hambatan yang ada pada saat mendemonstrasikan perilaku tersebut; dan (3) perlu ada petunjuk yang jelas tentang standar penampilan minimum yang dapat diterima.
Berkenaan dengan perumusan tujuan performansi, Dick dan Carey (Hamzah Uno, 2008) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran terdiri atas: (1) tujuan harus menguraikan apa yang akan dapat dikerjakan atau diperbuat oleh anak didik; (2) menyebutkan tujuan, memberikan kondisi atau keadaan yang menjadi syarat yang hadir pada  waktu anak didik berbuat; dan (3) menyebutkan kriteria  yang digunakan untuk menilai unjuk perbuatan anak didik yang dimaksudkan pada tujuan
Telah dikemukakan di atas bahwa tujuan pembelajaran harus dirumuskan secara jelas. Dalam hal ini Hamzah B. Uno (2008) menekankan pentingnya penguasaan guru tentang tata bahasa, karena dari rumusan tujuan pembelajaran itulah dapat tergambarkan konsep dan proses berfikir guru yang bersangkutan dalam menuangkan idenya tentang pembelajaran.
Pada bagian lain, Hamzah B. Uno (2008) mengemukakan tentang teknis penyusunan tujuan pembelajaran dalam format ABCD.  A=Audience (petatar, siswa, mahasiswa, murid  dan sasaran didik lainnya), B=Behavior (perilaku yang dapat diamati sebagai hasil belajar), C=Condition (persyaratan yang perlu dipenuhi agar perilaku yang diharapkan dapat tercapai, dan D=Degree (tingkat penampilan yang dapat diterima)
C. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
  1. Seorang guru dalam merencanakan pembelajaran dituntut untuk dapat merumuskan tujuan pembelajaran secara tegas dan jelas.
  2. Perumusan tujuan pembelajaran dapat memberikan manfaat tertentu bagi guru maupun siswa
  3. Saat ini telah terjadi pergeseran dalam merumuskan tujuan pembelajaran dari penguasaan bahan ke penguasan performansi.
  4. Tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan.
  5. Tujuan pembelajaran seyogyanya dirumuskan secara jelas, yang didalamnya mencakup komponen: Audience, Behavior, Condition dan Degree

Total Pageviews

lalaaaa

berilah kritik dan saran pada saya
terimakasih.. salam Anharul Huda

ngobrol-ngobrol
[Close]

Like My Blog JO LALI PENCET JEMPOLNYA. OK

sedulur adoh seg mampir