SUGENG RAWUH

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Melalui jejaring sosial website ini, kami bertekad dapat menyuguhkan layanan informasi secara umum maupun khusus yang meliputi aktifitas KBM, kegiatan siswa, prestasi sekolah/siswa, PSB dsb. Yang dapat diakses oleh siswa, guru, orang tua/wali siswa dan masyarakat secara cepat, tepat dan efisien.
Akhir kata, semoga layanan web site ini bermanfaat.

Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Minat Baca

Dikirim 0leh Arjo moemedo Monday, March 5, 2012

Selanjutnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan International Educational Achievement (IEA) tahun 2000, kemampuan membaca siswa SD Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara yang diteliti atau terendah di ASEAN (Republika, 24/03/03). Selanjutnya, survei The Political and Economic Risk Country (PERC), sebuah lembaga konsultan di Singapura, pada akhir 2001 menempatkan Indonesia di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia yang diteliti mengenai minat baca.

Kondisi literer merupakan sebuah proses yang komprehensif dimana untuk mewujudkan kondisi ideal ini harus terjadi sinergitas antara masyarakat, pasar, media dan pemerintah. Generasi literer merupakan syarat mutlak sebagai momentum kebangkitan dari keterpurukan, kemiskinan dan kebodohan yang membelenggu selama ini. Menciptakan generasi literer berarti membangun jembatan untuk membentuk sebuah generasi kritis serta peduli dengan masalah-masalah sosial. Hal inilah yang belum dilakukan oleh bangsa ini. Tidak mengherankan pendidikan di Indonesia serta peningkatan kualitas bangsa melangkah tertatih-tertatih.

Permasalahan Minat Baca

Menurut data Education for All (EFA) Global Monitoring Report tahun 2005, Indonesia adalah negara ke-8 dengan populasi buta huruf terbesar di dunia, yakni sekitar 18,4 juta orang buta huruf di Indonesia. Jelas temuan ini harus diantisipasi sejak dini oleh segenap elemen bangsa. Bukan tidak mungkin buta aksara adalah fenomena gunung es. Yang terpantau hanya sebagian dari penduduk. Masih banyak penduduk terutama penduduk pedalaman, yang belum melek aksara. Bagaimana mungkin bisa membangun kesadaran kritis jika membaca saja tidak mampu ?

Primanto Nugroho pernah melakukan penelitian kualitatif mengenai minat baca. Hasil penelitian yang berjudul Memotret Misteri Minat Baca di Masyarakat ini dipresentasikan pada diskusi di Pusat Studi Asia Pasifik UGM pada 11 Februari 2000. Berdasarkan hasil riset ini, perkara minat baca bukanlah persoalan kalkulasi tinggi rendah. Minat baca merupakan kondisi yang variatif sesuai dengan lokalitas di tiap elemen penyusun gerak masyarakat. Variasi dan kebutuhan akan informasilah yang menentukan keberhasilan suatu bacaan. Menurut Primanto, minat baca masyarakat sangat tergantung sampai sejauh mana masyarakat menganggap urgensi sebuah informasi. Artinya, persepsi oranglah yang menentukan kualitas minat baca. Jika suatu informasi dianggap tidak penting maka masyarakat tidak akan berminat membacanya. Begitu juga sebaliknya. Sehingga, sehebat apapun gerakan populis yang dicanangkan pemerintah, entah itu kampanye gemar baca, perpustakaan keliling, subsidi buku, hibah buku, buku murah, deregulasi penerbitan buku dan sebagainya tanpa ada penyadaran pentingnya sebuah informasi, minat baca masyarakat akan tetap jongkok.

Namun jika dicermati lebih jauh, minat baca masyarakat perkotaan tidaklah seburuk yang dibicarakan orang. Hanya saja, minat baca itu tidak diimbangi dengan daya beli sehingga mengesankan budaya baca masyarakat, termasuk kaum urban, masih rendah. Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Kompas di 10 kota besar di Indonesia, hampir dua pertiga responden mempunyai kebiasaan membaca, minimal seminggu sekali. Menggembirakannya lagi, hampir seperempat responden menyatakan punya kebiasaan membaca setiap hari. Sayangnya, tingginya minat baca yang terekam dari hasil jajak pendapat ini tidak dibarengi dengan tingkat konsumsi buku. Persentase responden untuk membeli buku ternyata tidak setinggi minat bacanya. Sebagian besar responden menyatakan hanya membeli satu dua buku setiap bulannya. Dapat disimpulkan, rendahnya daya beli ini linear dengan tingkat perekonomian dan budaya masyarakat kita. Tuntutan ekonomi dan biaya hidup yang makin tinggi bisa jadi implikasi logis dari rendahnya daya beli masyarakat ini. Apalagi kultur masyarakat kita lebih didominasi oleh budaya lisan ketimbang budaya baca.

Budaya lisan (oral society) sudah begitu mendarah daging di hampir setiap stratifikasi sosial. Proses transfer budaya lebih banyak dilakukan lewat ke mulut. Mendongeng bisa menjadi salah satu contoh. Oral society ini semakin menguat dengan hadirnya media radio dan televisi. Jelas, dengan kondisi ini menciptakan budaya literer secara ajeg akan makin sulit terwujud. Terjadi lompatan fase dimana fase bercerita (praliterer) tidak diselingi dengan fase membaca (literer) tetapi langsung melompat ke budaya menonton (paskaliterer). Tidak heran, masyarakat kita, anak-anak termasuk orang tua, merasa asing dengan buku. Mereka tentu lebih hafal nama-nama artis sinetron dan penyanyi di televisi daripada nama penulis buku. Ditambah lagi, pada dasarnya daya serap melalui pendengaran (auditif) lebih tinggi daripada daya baca.

Selain itu, faktor lain yang menghambat interaksi manusia dengan buku adalah waktu kunjungan perpustakaan. Hampir seluruh perpustakaan, termasuk perpustakaan non-sekolah, waktu kunjungannya bersamaan dengan jam kerja. Jarang sekali ada perpustakaan yang buka sampai malam hari. Padahal, pengunjung perpustakaan selama ini didominasi oleh pelajar, mahasiswa atau dosen. Akibatnya, tidak ada sinkronisasi antara jam sekolah atau kuliah dengan waktu kunjungan. Mahasiswa dan pelajar hanya punya waktu berkunjung ketika hari libur. Pola ini menjadikan ke perpustakaan bukanlah kegiatan prioritas tetapi lebih pada kegiatan untuk mengisi waktu libur. Jika kebiasaan ini terakumulasi, iklim akademik yang ideal untuk menghasilkan pemikir-pemikir kritis akan jauh dari harapan. Seyogyanya, perpustakaan menjadi rumah akademik kedua setelah sekolah atau kampus.

Permasalahan minat baca tidaklah persoalan tunggal. Kenyataan diatas hanyalah sebagian kecil dari permasalahan global yang ada. Jika ditambah dengan minimnya akses serta citra perpustakaan yang konservatif dan konvensional, maka membangun budaya literer bukanlah persoalan gampang. Selama ini, perpustakaan lekat dengan citra gedung tua, kusam, rak-rak penuh buku usang, dan pelayanan menyebalkan. Jika Image yang terkonstruksi sudah tidak baik, perpustakaan tak ubahnya seperti museum tua yang semakin sepi peminat. Perpustakaan belum menjadi tempat bersahabat untuk remaja yang lahir di tengah himpitan modernisasi.

Revolusi Perpustakaan

Perpustakaan merupakan salah satu kunci untuk membangun kesadaran literer, disamping lembaga pendidikan formal tentunya. Sayang, dari beberapa kali kunjungan ke Perpustakaan Daerah, susah sekali menemukan buku baru yang sangat berkualitas. Bahkan buku-buku usang berkualitas pun jumlahnya sangat minim. Meskipun secara kuantitas jumlahnya tidak bisa dikatakan sedikit tetapi dari segi pembaharuan bisa dikatakan tidak berjalan sama sekali. Padahal kita tahu perkembangan dan peredaran buku-buku baru selalu bertambah dan bervariatif dari segi content-nya. Artinya semakin banyak buku yang beredar tentu semakin banyak pula khasanah pengetahuan dan informasinya. Meskipun meyedot anggaran yang tinggi, karena harga buku juga mahal, pengadaan buku baru adalah hal utama yang harus dilakukan.

Tidak hanya dalam pengadaan buku-buku baru, pengelola perpustakaan juga bisa melakukan terobosan revolusioner dengan menyediakan peralatan digital audio-visual. Bioskop mini misalnya. Langkah ini sudah dilakukan oleh Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah Kota Semarang. Setiap pengunjung bisa dimanjakan dengan layanan audio-visual mengenai berbagai ilmu pengetahuan dan fenomena alam, antara lain tsunami, keajaiban alam, gunung berapi, gempa bumi, ruang angkasa, dan sejarah Kota Semarang. (Kompas Jawa Tengah, 19/05/07).

Menurut Kepala Kantor Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah Kota Semarang Bimbong Yogatama, perpustakaan tidak lagi sebagai gudang buku yang terpajang rapi menurut golongan buku atau jenis-jenis buku, tetapi lebih sebagai gudang informasi yang terus berkembang. Perkembangan yang dilakukan tidak hanya sebatas dengan penambahan koleksi buku tetapi juga menghadirkan teknologi terbaru. Selain memperbaharui koleksi film, Perpustakaan Daerah Kota Semarang juga menyediakan permainan komputer interaktif bernuansa pendidikan.

Hal yang senada juga dilakukan oleh Perpustakaan Nasional RI. Selain menggunakan sistem tertutup, dimana masyarakat hanya boleh membaca di tempat atau memfoto copy buku yang dibutuhkan, kini Perpustakaan Nasional juga menggunakan sistem terbuka (Kompas, 26/05/07). Selain itu, Perpustakaan Nasional juga menghadirkan mobil perpustakaan elektronik keliling serta ruang multimedia. Menyediakan layanan perpustakaan kelilling juga sudah dilakukan oleh Perpustakaan Kota Surabaya serta Perpustakaan dan Arsip Daerah Semarang. Disamping untuk memperkenalkan eksistensi perpustakaan, mobil perpustakaan keliling juga bisa menjadi media kampanye untuk penyadaran minat baca.

Terobosan lain yang bisa dihadirkan oleh pengelola perpustakaan adalah menyediakan digital library, hot spot atau layanan internet kepada pengunjungnya. Gebrakan ini sudah dilakukan oleh praktisi perbukuan yang berkolaborasi dengan pemerintah dengan mengelola perpustakaan yang berlayanan E-Mail : Library@Senayan.com dengan alamat yang bertempat di gedung Departemen Pendidikan Nasional Jl. Jendral Sudirman, Jakarta. Perpustakaan ini memberi layanan lengkap, mulai dari buku-buku berbahasa asing dan peminjaman materi audio visual. Kemajuan teknologi tidak boleh ditanggapi dengan acuh oleh pengelola perpustakaan tetapi harus diimbangi dengan kreativitas. Dengan begitu pengunjung tinggal membawa laptop dan bisa mengerjakan tugas di perpustakaan. Di beberapa pusat perbelanjaan kehadiran hot spot mendapat sambutan yang cukup antusias oleh masyarakat.

Apresiasi tinggi juga layak disematkan kepada jaringan perpustakaan pemerintah DKI Jakarta. Perpustakaan Umum Daerah Soemantri Bojonegoro di bilangan Kuningan Jakarta melayani masyarakat sampai jam delapan malam. Tentunya, hal ini menjadi langkah positif karena masyarakat akan punya waktu yang relatif nyaman untuk pergi ke perpusakaan. Hebatnya lagi, mereka melayani masyarakat setiap hari tanpa mengenal hari libur. Kelihatannya, perpustakaan daerah lain harus mengikuti gebrakan ini.

Langkah lain yang bisa diambil oleh pengelola perpustakaan adalah mengadakan talk show dan bedah buku untuk momentum tertentu. Tema yang diangkat tentunya tidak jauh dengan minat baca. Untuk menarik minat pengunjung, perpustakaan bisa mengundang tokoh atau artis yang peduli dengan minat baca, misalnya Tantowi Yahya atau Katon Bagaskara, Duta Baca Nasional. Sedangkan bedah buku bisa dilakukan secara continue mengingat kegiatan ini tidak membutuhkan biaya yang begitu besar. Buku-buku baru dengan topik yang lagi hot bisa dijadikan tema.

Sedikit banyak, kegiatan ini akan mengundang animo masyarakat untuk datang ke perpustakaan. Apalagi jika acara ini dilakukan secara berkesinambungan. Masyarakat akan benar merasakan kehadiran perpustakaan secara nyata. Kegiatan ini juga bisa mengubah citra perpustakaan yang sudah sedemikian mengakar di masyarakat. Bahwa perpustakaan bukanlah tempat yang menyeramkan tetapi menyenangkan yang tidak kalah dengan pusat perbelanjaan. Pengelola perpustakaan bisa bekerja sama dengan penerbit buku untuk mengadakan acara seperti ini. Diakhir acara bisa dilakukan kuis atau door prize dengan memberikan buku sebagai hadiahnya. Kegiatan lain yang bisa dilakukan adalah diskusi-diskusi dengan tema-tema menarik. Tentunya, pengelola harus memperhatikan segmen yang ingin disasar. Apakah anak-anak, remaja, mahasiswa atau kaum akademisi sudah mampu untuk meningkatkan minat baca ?

Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya, apakah selama ini perpustakaan, baik itu perpustakaan sekolah atau perpustakaan umum, mampu menjawab kebutuhan buku pengunjungnya ? Frank dalam buku Orangtua, Anak, dan Buku menulis, anak-anak umumnya lebih senang membaca buku yang membuatnya bahagia (Josette Frank, 1984). Untuk itu, untuk menumbuh kembangkan minat baca pada anak-anak, pengelola perpustakaan harus tahu buku apa yang paling diinginkan pengunjungnya. Menumbuhkan minat baca sejak dini adalah membuat anak-anak nyaman dengan huruf dan tulisan. Pengelola perpustakaan hendaknya menyediakan buku yang diminati atau sesuai dengan perkembangan anak-anak dan remaja, asal isinya mendidik. Jika langkah ini sudah tidak dilakukan sejak dini, kita tidak mungkin memaksa seseorang membaca buku ketika dewasa kelak.

Harus disadari benar bahwa perpustakaan adalah media untuk menciptakan dan meningkatkan minat baca, disamping tentunya menumbuhkan apresiasi budaya, seni dan prestasi. Sehingga tidak mungkin pustakawan bisa bekerja sendiri untuk mencapai cita-cita. Harus ada sinergi dengan pemerintah, swasta (penerbit) maupun media massa. Dengan penerbit, perpustakaan bisa mengadakan kerja sama dengan menghadirkan buku-buku terbaru dengan kompensasi berupa pemasangan iklan di sekitar perpustakaan. Sedangkan media massa bisa mengkampanyekan gerakan gemar baca secara intensif mengingat televisi, radio dan koran atau majalah merupakan media yang cukup persuasif.

Meskipun iklan layanan masyarakat mengenai minat baca sudah dikampanyekan secara massif toh minat baca masyarakat belum menunjukkan kemajuan signifikan. Harus ada terobosan lain yang dilakukan pemerintah. Misalnya, menggiatkan lomba-lomba berbasis literasi lomba seperti lomba meresensi buku, menulis artikel atau esai, menulis karya tulis mendongeng, dan membaca cepat untuk anak SD. Untuk teknis pelaksanaan pemerintah bisa bekerja sama dengan perpustakaan di daerah-daerah. Kehadiran lomba ini, dengan hadiah yang menarik paling tidak bisa sedikit ‘memaksa’ masyarakat untuk membaca. Namun, mesti diingat panitia wajib mengklasifikasikan berdasarkan usia atau pekerjaan. Misalnya pelajar harus dibedakan dengan mahasiswa dan umum. Harus ada juga kualifikasi tema yang berbeda untuk setiap kategori.

Pemerintah juga wajib untuk mengalokasikan dana khusus untuk pembelian buku-buku baru. Dana yang bisa ditarik dari masyarakat paling hanya dari biaya pendaftaran atau perpanjangan kartu, itupun jumlahnya tidak seberapa. Langkah ini mutlak harus dilaksanakan mengingat salah satu penyebab minimnya antusiasme untuk datang ke perpustakaan adalah minimnya koleksi buku baru yang bisa dibaca. Untuk menjadi generasi yang cerdas memang membutuhkan dana yang cukup besar, tapi komitmen pemerintah untuk membiaya perpustakaan juga menarik untuk ditunggu. Pemerintah tidak boleh terpaku hanya untuk pada pengadaan buku paket tetapi juga pengadaan buku-buku ilmiah populer. Buku-buku jenis ini pastinya akan lebih diminati oleh anak-anak jika dibandingkan dengan buku-buku pelajaran yang menggunakan bahasa kaku dan formal. Untuk menggugah keinginan anak-anak pemerintah juga bisa menggunakan Koran Mingguan Kerakyatan (KOMIK) sebagai media untuk menyampaikan informasi. Media visual tentunya akan lebih menarik dibandingkan dengan bukunya yang isinya tulisan melulu.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pendirian komunitas-komunitas buku atau buku bacaan yang bersifat nirlaba. Contohnya, Kedai Sinau (Malang), oasebaca (Semarang), Kombet (Bogor), Pasar Buku (Jakarta), Yayasan Alang-Alang Jakarta, Ibu Kembar dan Pendidikan Anak Miskin Jakarta serta Taman Bacaan milik artis Yessy Gusman. Kehadiran komunitas dan taman bacaan ini patut mendapat apresiasi positif dan dukungan dari semua pihak. Perpustakaan juga bisa menggagas terbentuknya komunitas buku seperti ini. Misalnya, dengan memberikan ruangan atau tempat khusus buat acara diskusi-diskusi terbatas. Ketersediaan ruangan untuk diskusi bisa menjadi penegas eksistensi dan ruang berekspresi komunitas seperti ini. Apalagi, pada umumnya komunitas ini punya rencana strategik jangka panjang sehingga eksistensi mereka wajib didukung terutama dari segi pendanaan.

Meskipun terengah-engah, semangat untuk menumbuh kembangkan minat baca masyarakat harus dijaga. Strategi-strategi revolusioner harus selalu dihadirkan agar persoalan minat baca, seperti yang dikatakan Fuad Hassan, sebagai ‘lagu lama’. Mochtar Lubis pernah menyatakan bahwa buku adalah senjata yang kukuh dan berdaya hebat untuk melakukan serangan maupun pertahanan terhadap perubahan sosial, termasuk perubahan dalam nilai-nilai manusia dan kemasyarakatan. Jika kesadaran literer ini tidak juga bisa digugah, kelihatannya kemiskinan dan kebodohan tidak akan beranjak dari bangsa ini.

Penulis: Harrys Pratama Teguh

0 komentaran

Total Pageviews

lalaaaa

berilah kritik dan saran pada saya
terimakasih.. salam Anharul Huda

ngobrol-ngobrol
[Close]

Like My Blog JO LALI PENCET JEMPOLNYA. OK

sedulur adoh seg mampir