Penyesuaian diri
dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment atau personal
adjustment. Schneiders berpendapat bahwa penyesuaian diri dapat ditinjau dari
tiga sudut pandang, yaitu: penyesuaian diri sebagai adaptasi (adaptation),
penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (conformity), dan penyesuaian diri
sebagai usaha penguasaan (mastery)
Pada mulanya penyesuaian diri diartikan sama dengan adaptasi (adaptation), padahal adaptasi ini pada umumnya lebih mengarah pada penyesuaian
diri dalam arti fisik, fisiologis, atau biologis. Misalnya, seseorang yang
pindah tempat dari daerah panas ke daerah dingin harus beradaptasi dengan iklim
yang berlaku di daerah dingin tersebut. Ada juga penyesuaian diri diartikan
sama dengan penyesuaian yang mencakup konformitas terhadap suatu norma. Pemaknaan penyesuaian diri seperti ini pun terlalu banyak membawa
akibat lain. Dengan memaknai penyesuaian diri sebagai usaha konformitas,
menyiratkan bahwa di sana individu seakan-akan mendapattekanan kuat untuk harus
selalu mampu menghindarkan diri dari penyimpangan perilaku, baiksecara moral, sosial,
maupun emosional.
Sudut pandang berikutnya adalah bahwa penyesuaian diri dimaknai
sebagai usaha penguasaan (mastery), yaitu
kemampuan untuk merencanakan dan mengorganisasikan respons dalam cara-cara
tertentu sehingga konflik-konflik, kesulitan, dan frustrasitidakterjadi.
Masing-masing dafinisi penyesuaian diri ini akan
dibahas dipostingan selanjutnya.
Penyesuaian Diri Remaja
Kategori Individual
Oleh : Zainun Mutadin, SPsi. MSi.
Jakarta, 09 April 2002
Oleh : Zainun Mutadin, SPsi. MSi.
Jakarta, 09 April 2002
Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting
bagi terciptanya kesehatan jiwa/mental individu. Banyak individu yang
menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya, karena
ketidak-mampuannya dalam menyesuaikan diri, baik dengan kehidupan keluarga,
sekolah, pekerjaan dan dalam masyarakat pada umumnya. Tidak jarang pula ditemui
bahwa orang-orang mengalami stres dan depresi disebabkan oleh kegagalan mereka
untuk melakukan penyesaian diri dengan kondisi yang penuh tekanan.
Pengertian
Pengertian penyesuaian diri pada awalnya berasal dari suatu pengertian yang
didasarkan pada ilmu biologi yang di utarakan oleh Charles Darwin yang terkenal
dengan teori evolusinya. Ia mengatakan: "Genetic changes can improve the ability of organisms to survive,
reproduce, and, in animals, raise offspring, this process is called
adaptation".(Microsoft Encarta Encyclopedia 2002).
Sesuai dengan pengertian tersebut, maka tingkah laku manusia dapat
dipandang sebagai reaksi terhadap berbagai tuntutan dan tekanan lingkungan
tempat ia hidup seperti cuaca dan berbagai unsur alami lainnya. Semua mahluk
hidup secara alami dibekali kemampuan untuk menolong dirinya sendiri dengan
cara menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan materi dan alam agar dapat
bertahan hidup. Dalam istilah psikologi, penyesuaian (adaptation dalam istilah Biologi) disebut dengan istilah adjusment.
Adjustment itu sendiri merupakan suatu proses untuk mencari titik
temu antara kondisi diri sendiri dan tuntutan lingkungan (Davidoff, 1991).
Manusia dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, kejiwaan dan
lingkungan alam sekitarnya. Kehidupan itu sendiri secara alamiah juga mendorong
manusia untuk terus-menerus menyesuaikan diri.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa penyesuaian diri merupakan
suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar
terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya.
Atas dasar pengertian tersebut dapat diberikan batasan bahwa kemampuan
manusia sanggup untuk membuat hubungan-hubungan yang menyenangkan antara
manusia dengan lingkungannya.
Aspek-aspek Penyesuaian Diri
Pada dasarnya penyesuaian diri memiliki dua aspek yaitu: penyesuaian
pribadi dan penyesuaian sosial. Untuk lebih jelasnya kedua aspek tersebut akan
diuraikan sebagai berikut :
1. Penyesuaian
Pribadi
Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya
sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan
lingkungan sekitarnya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa
kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi
dirinya tersebut. Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya
rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggungjawab, dongkol. kecewa, atau
tidak percaya pada kondisi dirinya. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak
adanya kegoncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas,
rasa tidak puas, rasa kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya.
Sebaliknya kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi,
kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya, sebagai
akibat adanya gap antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh
lingkungan. Gap inilah yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian
terwujud dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya individu harus
melakukan penyesuaian diri.
2. Penyesuaian
Sosial
Setiap iindividu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut
terdapat proses saling mempengaruhi satu sama lain silih berganti. Dari
proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan
sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk
mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Dalam
bidang ilmu psikologi sosial, proses ini dikenal dengan proses penyesuaian sosial.
Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup
dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup
hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah,
teman atau masyarakat luas secara umum. Dalam hal ini individu dan masyarakat
sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap
berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara
komunitas (masyarakat) diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh
sang individu.
Apa yang
diserap atau dipelajari individu dalam poroses interaksi dengan masyarakat
masih belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan
individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan cukup baik.
Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah
kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap
masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan
norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan
kelompok. Dalam proses penyesuaian sosial individu mulai berkenalan
dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut lalu mematuhinya sehingga
menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah
laku kelompok.
Kedua hal
tersebut merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka
penyesuaian sosial untuk menahan dan mengendalikan diri. Pertumbuhan kemampuan ketika mengalami proses
penyesuaian sosial, berfungsi seperti pengawas yang mengatur kehidupan sosial
dan kejiwaan. Boleh jadi hal inilah yang dikatakan Freud sebagai hati nurani (super
ego), yang berusaha mengendalikan kehidupan individu dari segi penerimaan
dan kerelaannya terhadap beberapa pola perilaku yang disukai dan diterima oleh
masyarakat, serta menolak dan menjauhi hal-hal yang tidak diterima oleh
masyarakat.
Pembentukan Penyesuaian Diri
Penyesuaian
diri yang baik, yang selalu ingin diraih setiap orang, tidak akan dapat
tercapai, kecuali bila kehidupan orang tersebut benar-benar terhindar dari
tekanan, kegoncangan dan ketegangan jiwa yang bermacam-macam, dan orang
tersebut mampu untuk menghadapi kesukaran dengan cara objektif serta
berpengaruh bagi kehidupannya, serta menikmati kehidupannya dengan stabil, tenang,
merasa senang, tertarik untuk bekerja, dan berprestasi.
Pada dasarnya penyesuaian diri melibatkan individu dengan lingkungannya,
pada penulisan ini beberapa lingkungan yang dianggap dapat menciptakan
penyesuaian diri yang cukup sehat bagi remaja, diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. Lingkungan Keluarga
Semua
konflik dan tekanan yang ada dapat dihindarkan atau dipecahkan bila individu
dibesarkan dalam keluarga dimana terdapat keamanan, cinta, respek, toleransi
dan kehangatan. Dengan demikian penyesuaian diri akan menjadi lebih baik bila
dalam keluarga individu merasakan bahwa kehidupannya berarti.
Rasa dekat
dengan keluarga adalah salah satu kebutuhan pokok bagi perkembangan jiwa
seorang individu. Dalam prakteknya banyak orangtua yang mengetahui hal ini
namun mengabaikannya dengan alasan mengejar karir dan mencari penghasilan yang
besar demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan menjamin masa depan
anak-anak. Hal ini seringkali ditanggapi negatif oleh anak dengan merasa bahwa
dirinya tidak disayangi, diremehkan bahkan dibenci. Bila hal tersebut terjadi berulang-ulang
dalam jangka waktu yang cukup panjang (terutama pada masa kanak-kanak) maka
akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan individu dalam menyesuaikan diri di
kemudian hari. Meskipun bagi remaja hal ini kurang berpengaruh, karena
remaja sudah lebih matang tingkat pemahamannya, namun tidak menutup kemungkinan
pada beberapa remaja kondisi tersebut akan membuat dirinya tertekan, cemas dan
stres.
Berdasarkan
kenyataan tersebut diatas maka pemenuhan kebutuhan anak akan rasa
kekeluargaan harus diperhatikan. Orang tua harus terus berusaha untuk
meningkatkan kualitas pengasuhan, pengawasan dan penjagaan pada anaknya; jangan
semata-mata menyerahkannya pada pembantu. Jangan sampai semua urusan makan dan
pakaian diserahkan pada orang lain karena hal demikian dapat membuat anak
tidak memiliki rasa aman.
Lingkungan
keluarga juga merupakan lahan untuk mengembangkan berbagai kemampuan, yang
dipelajari melalui permainan, senda gurau, sandiwara dan pengalaman-pengalaman
sehari-hari di dalam keluarga. Tidak diragukan lagi bahwa dorongan semangat dan
persaingan antara anggota keluarga yang dilakukan secara sehat memiliki
pengaruh yang penting dalam perkembangan kejiwaan seorang individu. Oleh sebab
itu, orangtua sebaiknya jangan menghadapkan individu pada hal-hal yang tidak
dimengerti olehnya atau sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan olehnya,
sebab hal tersebut memupuk rasa putus asa pada jiwa individu tersebut.
Dalam
keluarga individu juga belajar agar tidak menjadi egois, ia diharapkan dapat
berbagi dengan anggota keluarga yang lain. Individu belajar untuk menghargai
hak orang lain dan cara penyesuaian diri dengan anggota keluarga, mulai orang
tua, kakak, adik, kerabat maupun pembantu. Kemudian dalam lingkungan keluarga
individu mempelajari dasar dari cara bergaul dengan orang lain, yang biasanya
terjadi melalui pengamatan terhadap tingkah laku dan reaksi orang lain dalam
berbagai keadaan. Biasanya yang menjadi acuan adalah tokoh orang tua atau
seseorang yang menjadi idolanya. Oleh karena itu, orangtua pun dituntut untuk
mampu menunjukkan sikap-sikap atau tindakan-tindkan yang mendukung hal
tersebut.
Dalam hasil interaksi dengan keluarganya individu juga mempelajari sejumlah
adat dan kebiasaan dalam makan, minum, berpakaian, cara berjalan, berbicara,
duduk dan lain sebagainya. Selain itu dalam keluarga masih banyak hal lain yang
sangat berperan dalam proses pembentukan kemampuan penyesuaian diri yang sehat,
seperti rasa percaya pada orang lain atau diri sendiri, pengendalian rasa
ketakutan, toleransi, kefanatikan, kerjasama, keeratan, kehangatan dan rasa
aman karena semua hal tersebut akan berguna bagi masa depannya.
b. Lingkungan
Teman Sebaya
Begitu pula
dalam kehidupan pertemanan, pembentukan hubungan yang erat diantara kawan-kawan
semakin penting pada masa remaja dibandingkan masa-masa lainnya. Suatu hal yang
sulit bagi remaja menjauh dari temannya, individu mencurahkan kepada
teman-temannya apa yang tersimpan di dalam hatinya, dari angan-angan, pemikiran
dan perasaan. Ia mengungkapkan kepada mereka secara bebas tentang rencananya,
cita-citanya dan dorongan-dorongannya. Dalam semua itu individu menemukan
telinga yang mau mendengarkan apa yang dikatakannya dan hati yang terbuka untuk
bersatu dengannya.
Dengan
demikian pengertian yang diterima dari temanya akan membantu dirinya dalam
penerimaan terhadap keadaan dirinya sendiri, ini sangat membantu diri individu
dalam memahami pola-pola dan ciri-ciri yang menjadikan dirinya berbeda dari
orang lain. Semakin mengerti ia akan dirinya maka individu akan semakin
meningkat kebutuhannya untuk berusaha untuk menerima dirinya dan mengetahui
kekuatan dan kelemahannya. Dengan demikian ia akan menemukan cara penyesuaian
diri yang tepat sessuai dengan potensi yang dimilikinya.
c.
Lingkungan Sekolah
Sekolah
mempunyai tugas yang tidak hanya terbatas pada masalah pengetahuan dan
informasi saja, akan tetapi juga mencakup tanggungjawab pendidikan secara luas.
Demikian pula dengan guru, tugasnya tidak hanya mengajar, tetapi juga berperan
sebagai pendidik yang menjadi pembentuk masa depan, ia adalah langkah pertama
dalam pembentukan kehidupan yang menuntut individu untuk menyesuaikan dirinya
dengan lingkungan.
Pendidikan
modern menuntut guru atau pendidik untuk mengamati perkembangan individu
dan mampu menyusun sistem pendidikan sesuai dengan perkembangan tersebut. Dalam
pengertian ini berarti proses pendidikan merupakan penciptaan penyesuaian
antara individu dengan nilai-nilai yang diharuskan oleh lingkungan menurut
kepentingan perkembangan dan spiritual individu. Keberhasilan proses ini sangat
bergantung pada cara kerja dan metode yang digunakan oleh pendidik dalam
penyesuaian tersebut. Jadi disini peran guru sangat berperan penting dalam
pembentukan kemampuan penyesuaian diri individu.
Pendidikan
remaja hendaknya tidak didasarkan atas tekanan atau sejumlah bentuk kekerasan
dan paksaan, karena pola pendidikan seperti itu hanya akan membawa kepada
pertentangan antara orang dewasa dengan anak-anak sekolah. Jika para remaja
merasa bahwa mereka disayangi dan diterima sebagai teman dalam proses
pendidikan dan pengembangan mereka, maka tidak akan ada kesempatan untuk
terjadi pertentangan antar generasi.
|
Isi
Komentar
|
PENDAHULUAN
Makna akhir dari hasil pendidikan seseorang individu terletak pada sejumlah hal yang telah di pelajari dapat membantunya dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan pada tuntutan masyarakat. Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang didapat di sekolah dan diluar sekolah ia memiliki sejumlah pengetahuan, kecakapan, minat-minat, dan sikap-sikap. Dengan pengalaman-pengalaman itu ia secara berkesinambungan dibentuk menjadi seorang pribadi seperti apa yang dia miliki sekarang dan menjadi seorang pribadi tertentu dimasa mendatang.
Seseorang tidak dilahirkan dalam keadaan telah mampu menyesuaikan diri
atau tidak mampu menyesuaikan diri. Kondisi fisik, mental, dan emosional
dipengaruhi dan diarahkan oleh faktor-faktor lingkungan dimana kemungkinan akan
berkembang proses penyesuaian yang baik atau yang salah.Makna akhir dari hasil pendidikan seseorang individu terletak pada sejumlah hal yang telah di pelajari dapat membantunya dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan pada tuntutan masyarakat. Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang didapat di sekolah dan diluar sekolah ia memiliki sejumlah pengetahuan, kecakapan, minat-minat, dan sikap-sikap. Dengan pengalaman-pengalaman itu ia secara berkesinambungan dibentuk menjadi seorang pribadi seperti apa yang dia miliki sekarang dan menjadi seorang pribadi tertentu dimasa mendatang.
Sejak lahir sampai meninggal seorang individu merupakan organism yang aktif. Ia aktif dengan tujuan dan aktivitas yang berkesinambungan. Ia berusaha untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya dan juga semua dorongan yang memberi peluang kepadanya untuk berfungsi sebagai anggota kelompoknya. Penyesuaian diri adalah suatu proses. Dan salah satu cirri poko dari kepribadian yang sehat mentalnya ialah memiliki kemampuan untuk mengadakan penyesuaian diri secara harmonis, baik terhadap diri sendiri dan lingkungannya.
PEMBAHASAN
A. Pengertian penyesuaian.
Penyesuaian dapat diartikan atau dideskripsikan sebagai berikut:
1. Penyesuai berarti adaptasi; dapat mempertahan ekssistensinya,atau bisa survive dan memperoleh kesejahteraan jasmani dan rohani, dan dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan social.
2. Penyesuaian dapat juga diartikan sebagai komprnitas, yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar atau prinsip dll.
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Penyesuaian Diri.
Secara keseluruhan kepribadian mempunyai fungsi sebagai penentu primer terhadap penyesuaian diri. Penentu berarti faktor yang mendukung, mempengaruhi, atau menimbulkan efek pada proses penyesuaian diri. Penentu penyesuaian diri identik dengan faktor-faktor yang mengatur perkembangan dan terbentuknya pribadi secara bertahap. Penentu-penentu itu dapat dikelompokan sebagai berikut:
1. Kondisi-kondisi fisik, termasuk didalamnya keturunan, konstitusi fisik, susunan saraf, kelenjar, dan system otot, kesehatan, penyakit, dsb.
2. Perkembangan dan kematangan, khususnya kematangan intelektual, social, moral, dan emosional.
3. Penentuan psikologis, termasuk didalamnya pengalaman, belajarnya, pengkondisian, penetuan diri, frustasi, dan konflik.
4. Kondisi lingkungan, khususnya keluarga dan sekolah.
5. Penentuan cultural termasuk agama.
Pemahaman tentang faktor-faktor ini dapat dan bagaimana fungsinya dalam penyesuaian merupakan syarat untuk memahami proses penyesuaian, karena penyesuaian tumbuh antara faktor-faktor ini dan tuntutan individu.
C. Permasalahan-Permasalahan Penyesuaian Diri Remaja.
Di antara persoalan terpentingnya yang dihadapi remaja dalam kehidupan sehari-hari dan yang menghambat penyesuaian diri yang sehat adalah hubungan remaja dengan orang dewasa terutama orang tua.
Tingkat penyesuaian diri dan pertumbuhan remaja sangat tergantung pada sikap orangtua dan suasana psikologi dan social dalam keluarga.
Sikap orangtua yang otoriter, yang memaksakan kekuasaan dan otoritas kepada remaja juga akan menghambat proses penyesuaian diri remaja. Biasanya remaja berusaha untuk menentang kekuasaan orang tua dan pada gilirannya ia kan cenderung otoriter terhadap teman-temannya dan cenderung menentang otoritas yang ada baik di sekolah maupun dimasyarakat.
Permasalahn-permasalahan penyesusaian diri yang dihadapi remaja dapat berasal dari suasana psikologis keluaraga. Banyak penelitian membuktikan bahwa remaja yang hidup dalam rumah tangga yang retak, mengalami masalah emosi, tampak padanya ada kecendrungan yang besar untuk marah, suka menyendiri, disamping kuran kepekaanterhjadsap penerimaan social dan kurang mampu menahan diri serta lebih gelisa dibandingkan dengan remaja yang hidup dalam rumah tangga yang wajar. Terbukti pula bahwa kebanyakan anak-anak yang dikeluarkan dari sekolah karena tidak dapat menyesuaikan diri adalah mereka yang datang dari rumah tangga yang pecah/ retak.
Adapula masaalah yang yimbul dari teman remaja; perpindahan ketempat/ masyarakat baru, berarti kehilangan teman lama dan terpaksa mencari teman baru. Banyak remaja yang mengalami kesulitan dalam mencari/ membentuk persahabatan dengan hubungan social yang baru. Mungkin remaja berhasil baik dalam hubungan di sekolah yang lama, ketika pindah keskolah yang baru ia menjadi tidak dikenal dan tidak ada yang memperhatikan. Di sini remaja dituntut untuk dapat lebih mamapu menyesuaikan diri dengan masyarakat yang baru, sehingga dia menjadi bagian dari masyarakat yang baru itu.
Penyesusaian diri remaja dengan kehidupan disekolah. Permasalahan penyesuaian diri di sekolah mungkin akan timbul ketika remaja mulai memasuki jenjang sekolah yang baru, baik sekolah lanjutan pertama maupun sekolah lanjutan atas. Mereka mungkin mengalami permasalahan penyesuaian diri dengan guru- guru, teman, dan mata pelajaran. Sebagai akibat antara laim adalah prestasi belajar menjadi menurun dibanding dengan prestasi disekolah sebelumnya.
Persoalan-persoalan umum yang seringkali dihadapi remaja antaralain memilih sekolah. Jika kita mengharapkan remaja mempunyai penyesuaian diri yang baik, seyogyianya kita tidak mendikte mereka agar memilih jenis sekolah tertentu sesuai keinginan kita. Orangtua/ peendidik hendaknya mengarahkan pilihan sekolah sesuai dengan kemampuan, bakat, dan sifat-sifat pribadinya. Tidak jarang terjadi anak tidak mau sekolah, tidak mau belajar, suka membolos, dan sebagainya karena ia dipaksa oleh orangtuanya untuk masulk sekolah yang tidak ia sukai.
Permasalahan lain yang mungkin timbul adalah penyesuaian diri yang berkaitan dengan kebiasaan belajar yang baik. Bagi siswa yang baru masuk sekolah lanjutan mungkin mengalami mkesulitan dalam membagi waktu belajar, yakni adanya pertentangan antara belajar dan keinginan untuk ikut aktif dalam kegiatan sosial, kegiatan ekstra kurikuler, dan sebagainya.
D. Implikasi Proses Penyesuaian Remaja Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan.
Lingkungan sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap petkembangan jiwa remaja. Sekolah selain mengemban fungsi pengajaran juga fungsfungsi pendidikan (transformasi norma). Dalam kaitannya dengan pendidikan ini, peranan sekolah pada hakikatnya tidak jauh dari peranan keluarga, yaitu sebagin rujukan dan tempat perlindunga jika anak didik mengalami masalah.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperlancar proeses penyesuaian diri remaja khususnya di sekolah adalah:
1. Menciptakan situasi sekolah yang dapat menimbulkan rasa “ betah” (at home) bagi anak-anak didik , baik secara social , fisik maupun akademis.
2. Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan bagi anak.
3. Usaha memahami anak didik secara menyeluruh, baik prestasi belajar, social , maupun seluruh aspek pribadinya.
4. Menggunakan kmetode dan alat mentgajar yang menimbulkan gairah belajar.
5. Menggunakan prosedur evaluasi yang dapat memperbesar motivasi belajar.
6. Ruang kelas yang memenuhi syarat-syrat kesehatan.
7. Peraturan / tata tertib yamg jelas dan dapat dipahami oleh siswa.
8. Teladan ari para guru dalam segi pendidikan.
9. Kerja swama dan saling pengertian dari para guru dalam melaksanakan kegiatan pendidikan di sekolah.
10. Pelaksanaan program bimbingan dan penyuluhan yang sbaik-baiknya.
11. Situasi kepemimpinan yang penuh saling pengertian dan tanggungjawab baik pada murid maupun pada guru.
12. Hubungan yang baik dan penuh pengertian antara sekolah dengan orang tua siswa dan masyarakat.
Karena di skolah guru merupakan figur pendidik yang penting dan besar pengaruhnya terhadap penyesuaian siswa-siswinya, maka dituntut sifat –sifat guru yang efektif, yakni sebagi berikut (Ryans dalam Garrison, 1956).
1. Memberi kezsempatan (alert), tampak antusias dalam berminat dalam aktivitas siswa dalam kelas .
2. Ramah (cheerful) dan optimistis.
3. Mampu mengontrol diri, tidak mudah kacau (terganggu ), dan teratur tindakannya .
4. Senang kelakar, mempunyai ras humor.
5. Mengetahui dan mengakui kesalahan-kesalahan sendiri.
6. Jujur dan opjektif dalam memperlakukan siswa.
7. Menunjukan pengertian dan ras a simpati dalam bekerja dengan sisiwa-siswinya.
Jika para guru bersama dengan seluruh staf disekolah dapat melaksanakan tugasnya dengan baik , maka anak-anak didik di sekolah itu yang berada dalam usia remaja akan cenderung brkurang kemugkinannya untuk menglami permasalahan-permasalahan penyesuaaian diri atau terlibat dalam masalah yang bisa menyebabkan perilaku yang menyimpang.
PENUTUP
Kesimpulan.
Manusia tidak dilahirkan dalam keadaaan telah mampu menyesuaikan diri, maka penyesuaian diri terhadap lingkungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan memerlukan proses yang cukup unik.
Penyesuaian diri adalah suatu proses. Dan salah satu cirri pokok dari kepribadian yang sehat mentalnya ialah memiliki kemampuan untukmengadakan penyesuaian diri secaara haemonis, baik terhadap sendiri maupun terhadap lingkungannya.
Proses penyesuaian diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : kondisi fisik, tingkatan perkembangan dan kematangan, faktor psikologis, lingkungan, dan kebudayaaan.
Permasalahan-permasalahan penyesuaian diri yang dihadapi remaja dapat berasal dari suasana psikologis keluarga seperti keretakan keluarga. Selain itu permasalahan penyesuaian akan muncul bagi remaja yang sering pindah tempat tinggal. Remaja yang keluarganya sering pindah, ia terpaksa pindah dari sekolah ke sekolah yang lain dan ia akan sangat tertinggal dalam pelajaran, karena guru berbeda-beda dalam caranya mengajar sehingga membuat dia sangat suli dalam menyesuaikan diri.
Daftar Pustaka
v Sunarto. H. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.
By: Raflen A. Gerungan
Menurut Haber dan Runyon (1984),
penyesuaian diri adalah suatu proses dan bukan keadaan yang statis sehingga
efektivitas dari penyesuaian diri itu sendiri ditandai dengan seberapa baik
individu mampu menghadapi situasi serta kondisi yang selalu berubah, dimana
seseorang merasa sesuai dengan lingkungan dan merasa mendapatkan kepuasan dalam
pemenuhan kebutuhannya.
Menurut Haber dan Runyon (1984) terdapat
lima karakteristik penyesuaian diri yang efektif, yaitu:
persepsi yang akurat tentang realitas,
kemampuan mengatasi stres dan kecemasan,
memiliki citra diri (self image)
yang positif,, mampu mengekspresikan kenyataan, memiliki hubungan interpersonal
yang baik
Untuk menyesuaikan diri diperlukan
beberapa faktor pendorong yang turut menentukan, menurut Lazarus (1976) yaitu:
faktor primer atau internal, dan faktor eksternal yang berasal dari luar
individu.
Tunagrahita
PPDGJ (1993) mendefinisikan tunagrahita
yaitu suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang
terutama ditandai oleh hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga
berpengaruh pada tingkat intelegensi yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik
dan sosial. Gangguan dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan
psikososial (Kaplan dkk, 1997).
Klasifikasi berdasarkan skor IQ WISC
(dalam Efendi, 2006): ringan (Mild/Debil/Moron), sedang (Imbecil/Moderate),
berat/Idiot (IQ 0-25).
Menurut
Kirk (dalam Efendi, 2006), penyebab tunagrahita yaitu karena faktor
Tinjauan
Teoritis
Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan definisi berdasarkan definisi
penyesuaian diri dari Lazarus (1976), Haber & Runyon (1984), Atwater (1983),
Powell (1983), Martin & Osborne (1989), dan Hollander (1981) menjadi suatu
proses perubahan dalam diri dan lingkungan, dimana individu harus dapat
mempelajari tindakan atau sikap baru untuk hidup dan menghadapi keadaan tersebut
sehingga tercapai kepuasan dalam diri, hubungan dengan orang lain dan lingkungan
sekitar.
Menurut Powell (1983) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi individu dalam
melakukan penyesuaian diri, yang disebut sebagai resources. Resources yang
memiliki asosiasi tinggi dengan penyesuaian diri dalam hidup adalah hubungan
yang baik dengan keluarga dan orang lain, keadaan fisik, kecerdasan, minat di
luar pekerjaan, keyakinan yang bersifat religius, kemampuan keuangan, dan
impian. Selain itu digunakan pula lima karakteristik penyesuaian diri efektif
menurut Haber & Runyon (1984) yaitu persepsi yang akurat terhadap realitas,
kemampuan untuk mengatasi kecemasan dan stres, citra diri yang positif,
kemampuan untuk mengekspresikan perasaannya, serta hubungan antarpribadi yang
baik.
Selain penjelasan mengenai penyesuaian diri, dijelaskan pula teori mengenai
perkembangan remaja. Dimana dalam masa perkembangan, remaja mengalami berbagai
perubahan. Perubahan tersebut melingkupi aspek fisik, kognitif, dan psikososial.
Menurut Erikson (dalam Miller, 1993), masa remaja masuk kepada tahapan identity
and repudiation versus identity diffusion, dimana dalam tahap perkembangan ini
tugas dasar remaja adalah untuk dapat mengintegrasikan beragam identitas yang
mereka bawa sejak masa anak-anak menjadi suatu identitas yang semakin lengkap.
Dalam menjelaskan Homeschooling, Ransom (2001) menyatakan bahwa terdapat dua hal
penting, yaitu: (1) sebagian besar pelaksana homeschooling melakukan aktivitas
belajarnya di rumah. Sebagian melaksanakan hampir seluruh kegiatan belajar di
rumah, dengan "membeli" kurikulum yang telah terstruktur; (2) dalam melaksanakan
homeschooling, orangtua dan anak bertanggung jawab terhadap pendidikan dan
proses belajar, memutuskan apa yang akan dipelajari, kapan waktu untuk belajar,
dan bagaimana cara belajarnya.
Ransom (2001) menyatakan bahwa ketika anak meninggalkan sekolah formal, akan ada
masa-masa penyesuaian diri yang biasanya disebut sebagai deschooling atau
decompression. Deschooling sendiri menurut Saba & Gattis (2002) merupakan masa
(periode) dimana orangtua dapat membiarkan anaknya untuk beristirahat sejenak
dan beradaptasi dengan situasi baru yang lebih bebas, sehingga anak diharapkan
dapat mempersiapkan pengalaman sekolah yang berbeda dari sekolah sebelumnya.
Metode Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif karena menurut
Merriam (dalam Creswell, 1998), penelitian kualitatif lebih tertarik pada
pemaknaan, yaitu bagaimana orang mengartikan kehidupan, pengalaman, dan struktur
di dalam dunianya. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode
wawancara dengan pedoman umum. Metode wawancara dianggap paling sesuai dalam
menjawab masalah penelitian ini karena peneliti bermaksud untuk mendapat
pengetahuan mengenai makna yang dialami oleh setiap subyek berkenaan dengan
proses penyesuaian diri yang mereka jalani.
Dalam pembuatan pedoman umum wawancara ini, digunakan teori penyesuaian diri
efektif dari Haber & Runyon (1984) dan resources individu yang menunjang
penyesuaian diri menurut Powell (1983). Selain itu ditanyakan pula data diri
subyek dan pengalaman subyek sejak awal mengetahui homeschooling, memutuskan
untuk melaksanakan homeschooling, masa deschooling, hingga kondisi yang terkini.
Karakteristik subyek yang terlibat dalam penelitian ini adalah siswa
homeschooling yang beralih dari sekolah formal ke homeschooling pada saat usia
remaja (13 hingga 18 tahun), saat ini subyek berada dalam rentang usia
perkembangan remaja yaitu usia 13 hingga 18 tahun dan masih belajar setingkat
dengan SMP atau SMU di sekolah formal, serta merupakan siswa yang melaksanakan
homeschooling dalam komunitas. Dalam penelitian ini, teknik penentuan subyek
yang digunakan adalah incidental sampling. Dimana peneliti menggunakan empat
orang subyek, dua laki-laki dan dua perempuan.
Dalam tahap pelaksanaan, peneliti mewawancarai subyek masing-masing sebanyak dua
kali, hanya satu subyek yang diwawancarai satu kali. Dalam sekali pertemuan,
wawancara dilaksanakan selama satu hingga dua setengah jam. Pada tahap
pengolahan dan analisis, peneliti menganalisis hasil perolehan dengan melakukan
analisis intra subyek dan antar subyek.
Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan definisi berdasarkan definisi
penyesuaian diri dari Lazarus (1976), Haber & Runyon (1984), Atwater (1983),
Powell (1983), Martin & Osborne (1989), dan Hollander (1981) menjadi suatu
proses perubahan dalam diri dan lingkungan, dimana individu harus dapat
mempelajari tindakan atau sikap baru untuk hidup dan menghadapi keadaan tersebut
sehingga tercapai kepuasan dalam diri, hubungan dengan orang lain dan lingkungan
sekitar.
Menurut Powell (1983) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi individu dalam
melakukan penyesuaian diri, yang disebut sebagai resources. Resources yang
memiliki asosiasi tinggi dengan penyesuaian diri dalam hidup adalah hubungan
yang baik dengan keluarga dan orang lain, keadaan fisik, kecerdasan, minat di
luar pekerjaan, keyakinan yang bersifat religius, kemampuan keuangan, dan
impian. Selain itu digunakan pula lima karakteristik penyesuaian diri efektif
menurut Haber & Runyon (1984) yaitu persepsi yang akurat terhadap realitas,
kemampuan untuk mengatasi kecemasan dan stres, citra diri yang positif,
kemampuan untuk mengekspresikan perasaannya, serta hubungan antarpribadi yang
baik.
Selain penjelasan mengenai penyesuaian diri, dijelaskan pula teori mengenai
perkembangan remaja. Dimana dalam masa perkembangan, remaja mengalami berbagai
perubahan. Perubahan tersebut melingkupi aspek fisik, kognitif, dan psikososial.
Menurut Erikson (dalam Miller, 1993), masa remaja masuk kepada tahapan identity
and repudiation versus identity diffusion, dimana dalam tahap perkembangan ini
tugas dasar remaja adalah untuk dapat mengintegrasikan beragam identitas yang
mereka bawa sejak masa anak-anak menjadi suatu identitas yang semakin lengkap.
Dalam menjelaskan Homeschooling, Ransom (2001) menyatakan bahwa terdapat dua hal
penting, yaitu: (1) sebagian besar pelaksana homeschooling melakukan aktivitas
belajarnya di rumah. Sebagian melaksanakan hampir seluruh kegiatan belajar di
rumah, dengan "membeli" kurikulum yang telah terstruktur; (2) dalam melaksanakan
homeschooling, orangtua dan anak bertanggung jawab terhadap pendidikan dan
proses belajar, memutuskan apa yang akan dipelajari, kapan waktu untuk belajar,
dan bagaimana cara belajarnya.
Ransom (2001) menyatakan bahwa ketika anak meninggalkan sekolah formal, akan ada
masa-masa penyesuaian diri yang biasanya disebut sebagai deschooling atau
decompression. Deschooling sendiri menurut Saba & Gattis (2002) merupakan masa
(periode) dimana orangtua dapat membiarkan anaknya untuk beristirahat sejenak
dan beradaptasi dengan situasi baru yang lebih bebas, sehingga anak diharapkan
dapat mempersiapkan pengalaman sekolah yang berbeda dari sekolah sebelumnya.
Metode Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif karena menurut
Merriam (dalam Creswell, 1998), penelitian kualitatif lebih tertarik pada
pemaknaan, yaitu bagaimana orang mengartikan kehidupan, pengalaman, dan struktur
di dalam dunianya. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode
wawancara dengan pedoman umum. Metode wawancara dianggap paling sesuai dalam
menjawab masalah penelitian ini karena peneliti bermaksud untuk mendapat
pengetahuan mengenai makna yang dialami oleh setiap subyek berkenaan dengan
proses penyesuaian diri yang mereka jalani.
Dalam pembuatan pedoman umum wawancara ini, digunakan teori penyesuaian diri
efektif dari Haber & Runyon (1984) dan resources individu yang menunjang
penyesuaian diri menurut Powell (1983). Selain itu ditanyakan pula data diri
subyek dan pengalaman subyek sejak awal mengetahui homeschooling, memutuskan
untuk melaksanakan homeschooling, masa deschooling, hingga kondisi yang terkini.
Karakteristik subyek yang terlibat dalam penelitian ini adalah siswa
homeschooling yang beralih dari sekolah formal ke homeschooling pada saat usia
remaja (13 hingga 18 tahun), saat ini subyek berada dalam rentang usia
perkembangan remaja yaitu usia 13 hingga 18 tahun dan masih belajar setingkat
dengan SMP atau SMU di sekolah formal, serta merupakan siswa yang melaksanakan
homeschooling dalam komunitas. Dalam penelitian ini, teknik penentuan subyek
yang digunakan adalah incidental sampling. Dimana peneliti menggunakan empat
orang subyek, dua laki-laki dan dua perempuan.
Dalam tahap pelaksanaan, peneliti mewawancarai subyek masing-masing sebanyak dua
kali, hanya satu subyek yang diwawancarai satu kali. Dalam sekali pertemuan,
wawancara dilaksanakan selama satu hingga dua setengah jam. Pada tahap
pengolahan dan analisis, peneliti menganalisis hasil perolehan dengan melakukan
analisis intra subyek dan antar subyek.
0 komentaran